Minggu, 01 Mei 2011

Rabu, 16 Maret 2011

Merenung Sejenak

"sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman" (al-Hajj: 38)
Dengan kata lain Dia melindungi kita dari kejahatan, baik di dunia maupun di ahirat nanti. dalam ayat ini Allah meyakinkan kita, mengingatkan, dan memberi kabar gembira kepada kita. dia menghapuskan kejahatan dari orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkat keimanan mereka. kejahatan orang-orang yang tidak beriman, bisikan setan, dan kejahatan, dari mereka sendiri---semua dibersihkan Allah dari diri oranng-orang yang benar-benar berimna. ketika terjadi malapetaka, bebannya akan diringankan kepada mereka. setiap orang beriman mendapat bagiannyadari perlindungan Tuhan ini. Namun, tentu berbedda-beda sesuai dengan tingkat keimannanya; ada yang mendapat sedikit, dan ada yang mendapat banyak.

Kamis, 02 April 2009

konseling psikoanalisa & kelompok


KONSELING PSIKOANALISA

Freud adalah seorang Jerman keturunan Yahudi, pada masa kebangkitan Hitler, ia harus melarikan diri ke Inggris dan meninggal di London tanggal 23 September 1939. Freud secara skematis menggambarkan jiwa sebagai sebuah gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan air adalah bagian yang terkecil, yaitu puncak dari gunung es itu, yang dalam hal kejiwaan adalah bagian kesadaran (consiousness) Agak dibawah permukaan air adalah bagian yang disebutnya prakesadaran (Subconsiousness atau Preconsiousness) yang berisi hal yang sewaktu-waktu dapat muncul ke kesadaran.
Bagian yang terbesar dari gunung es itu berada di bawah permukaan air dan dalam hal jiwa merupakan alam ketidaksadaran (unconsciousness) yang berisi dorongan-dorongan yang ingin muncul ke permukaan atau mendesak terus ke atas kesadaran, sedangkan tempat di atas sangat terbatas sekali. Tinggallah “ego” (aku) yang memang menjadi pusat dari kesadaran yang harus mengatur dorongan-dorongan yang mana harus tetap tinggal di ketidaksadaran. Meskipun begitu tetapi mereka ini tidak tinggal diam, melainkan mendesak terus dan kalau “ego” tidak cukup kuat menahan desakan ini akan terjadilah kelainan-kelainan kejiwaan seperti psikoneurose atau psikose.
Dorongan-dorongan itu sebagian adalah sudah ada sejak manusia lahir, yaitu dorongan seksual dan agresi, sebagian lagi berasal dari pengalaman masa lalu yang pernah terjadi pada tingkat kesadaran dan pengalaman itu bersifat traumatis (menggoncangkan jiwa), sehingga perlu ditekan dan dimasukkan dalam ketidaksadaran. Segala tingkah laku manusia menurut Freud, bersumber pada dorongan-dorongan yang terletak jauh di dalam ketidaksadaran, karena itu psikologi Freud disebut juga psikologi dalam (Depth psychology).
Selain itu teori Freud disebut juga sebagai teori psikodinamik (dynamic psychology), karena ia menekankan kepada dinamika atau gerak mendorong dari dorongan-dorongan dalam ketidaksadaran itu ke kesadaran. Dan dapat berfungsi sebagai tiga macam teori, yaitu:
1. Sebagai teori kepribadian
2. Sebagai teknik analisa kepribadian.
3. Sebagai metode terapi (penyembuhan)
Sebagai teori kepribadian, psikoanalisa mengatakan bahwa jiwa terdiri dari tiga sistem yaitu: id (es), super ego (uber ich) dan ego (ich). Id terletak dalam ketidaksadaran. Ia merupakan tempat dari dorongan-dorongan primitif, yaitu dorongan-dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan, yaitu dorongn untuk hidu dan mempertahankan kehidupan (life instinch). Bentukan dari dorongan hidup adalah dorongan seksual atau disebut juga libido dan bentuk dari dorongan mati adalah dorongan agresi, yaitu dorongan yang menyebabkan orang ingin menyerang orang lain, berkelahi atau berperang atau marah. Prinsip yang dianut oleh id adalah prinsip kesenangan (pleasure prinsiple), yaitu bahwa tujuan dari id adalah memuaskan semua dororngan primitif ini.
Superego adalah suatu sistem yang merupakan kebalikan dari id., sistem ini sepenuhnya dibentuk oleh kebudayaan. Superego berisi dorongan-dorongan untuk berbuat kebaikan, dorongan untuk mengikuti norma-norma masyarakat dan sebagainya dan akan berusaha menekan dorongan yang timbul dari id karena dorongan dari id yang masih primitif ini tidak sesuai atau tidak bisa diterima oleh superego. Di sinilah terjadi tekan menekan antara dorongan-dorongan yang berasal dari id dan superego. Kadang-kadang superegolah yang menang, kadang kadang id lah yang lebih kuat.di sini pula nampak teori psiodinamika dari freud.
Ego adalah sistem di mana kedua dorongan dari id dan superego beradu kekuatan, fungsi ego adalah menjaga keseimbangan antara kedua sistem yang lainnya, sehingga tidak terlalu banyak dorongan dari id yng dimunculkan ke kesadaran, sebaliknya tidak semua dorongan superego saja yang dipenuhi. Ego sendiri tidak mempuyai dorongan atau energi, ia menyesuaikan dorongan id atau superego dengan kenyataan di dunia luar. Ego adalah satu-satunya sistem yang langsung berhubungan dengan dunia luar, karena itu ia dapat mempertimbangkan faktor kenyataan ini.
Ego yang lemah tidak dapat menjaga keseimbangan antara superego dan id. Kalau ego terlalu dikuasai oleh dorongan-dorongan dari id saja, maka orang itu akan menjadi psikopat (tidak memperhatikan norma-norma dalam segala tindakannya), kalau orang itu terlalu dikuasai oleh superegonya, maka orang itu akan menjadi psiko neurose (tidak dapat menyalurkan sebagian besar dorongan-dorongan primitifnya). Selanjutnya Freud mengatakan bahwa untuk menyalurkan dorongan-dorongan primitif yang tidak bisa dibenarkan oleh superego, ego mempunyai cara-cara tertentu yang disebut sebagai mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan ini gunanya untuk melindungi ego dari ancaman dorongan primitif yang mendesak terus karena tidak diizinkan muncul oleh superego. Sembilan mekanisme pertahanan yang dikemukakan Freud adalah:
1. Represi
Suatu hal yang pernah dialami dan menimbulkan ancaman bagi ego ditekan masuk keketidaksadaran dan disimpan di sana agar tidak mengganggu ego lagi. Perbedaannya dengan proses lupa bahwa dalam lupa hal yang dilupakan itu hanya disimpan dalam bawah sadar dan sewaktu-waktu dapat muncul kembali, sedangkan pada represi (Repression) hal yang di repres tidak dapat dikeluarkan ke kesadaran dan disimpannya dalam ketidaksadaran.
2. Pembentukan Reaksi (Reoction Formation)
Seseorang bereaksi justru sebaliknya dari yang dikehendakinya demi tidak melanggar ketentuan dari superego. Misalnya seorang ibu membnci anaknya, karena anak ini hampir merenggut jiwanya waktu ibu itu melahirkan. Ibu ini ingin sekali membunuh anaknya (dorongan agresi), tetapi superego tidak membenarkan perbuatan itu. Karena itu, ibu ini bertindak sebaliknya, yaitu sangat menyayanginya secara berlebih-lebihan terhadap anak. Sebagai akabat dari kasih sayang yag berlebih-lebihan itu , maka anak juga menderita karena seba terkekang.
3. Proyeksi (Projection)
Karena superego seseorang melarang ia mempunyai suatu perasaan atau sikap tertentu terhadap orang lain, maka ia berbuat seolah-olah orang lain itulah yang punya sikap atau perasaan tertentu itu terhadap dirinya.
4. Penempatan yang Keliru (Displacement)
Kalau seseorang tidak dapat melampaskan perasaan tertentu karena hambatan dari superego, maka ia akan melampiaskan perasaan tersebut kepada pihak ketiga.
5. Rasionalisasi (Rasionalisation)
Dorongan-dorongan yang sebenarnya dilarang oleh superego dicaakan penalaran sedemikian rupa, sehingga seolah-olah dapat dibenarkan.




6. Supresi (Supression)
Supresi adalah juga menekankan sesuatu yang dianggap membahayakan ego ke dalam ketidaksadaran, tetapi berbeda dengan represi, maka hal yang ditekan dalam supresi adalah hal-hal yang datang dari ketidaksadaran sendiri dan belum pernah muncul dalam kesadaran. Misalnya dorongan oedipoes complex,
7. Sublimasi (Sublemation)
Dorongan-dorongan yang tidak dibenarkan oleh superego tetap dilakukan juga dalam bentuk yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat. Misalnya dorongan agresi untuk membunuh orang lain yang sebenarnya tidak dibenarkan oleh superego tetap dilakukan dengan alasan peperangan; berdansa adalah sublimasi dari dorongan seksual; bertinju adalah olah raga yang merupakan sublimasi dorongan-dorongan agresi.
8. Kompensasi (Compensation)
Usaha untuk menutupi kelemahan disalah satu bidang atau organ dengan membuat prestasi yang tinggal diorgan lain atau bidang lain sehingga ego terhindar dari ejekan atau rasa rendah diri.
9. Regresi (Regretion)
Untuk menghindari kegagalan atau ancaman terhadap ego, individu mundur kembali ketaraf perkemabangan yang lebih rendah, misalnya ia menjadi keknakan kembali. Misalny orang yang sudah memasuki usia tua, takut menghadapi ketuaan, maka ia menjadi kekanak-kanakan kembali.

Dalam teori psikoanalisa sebagai teori kepribadian Freud selanjutnya mengatakan bahwa pada setiap orang terhadap seksualitas kanak-kanak (invantile sexuality), yaitu dorongan seksual yang sudah terdapat sejak bayi. Dorongan ini akan berkembang terus menjadi dorngan seksual pada orang dewasa melalui beberapa tingkat perkembangan, yaitu:
1) Fase Oral (Mulut)
2) Fase Anal (Anus)
3) Fase Phalic
4) Fase Latent
5) Fase Genital

Psikoanalisa selain sebagai teori kepribadian, dapat berfungsi sebagai teknik analisa kepribadian. Misalnya untuk dapat menerangkan suatu gejala psikoneurose, agar dapat diusahakan penyembuhan terhadap penderita yang bersangkutan maka perlu dianalisa terlebih dahulu kepribadian penderita yang bersangkutan. Dalam analisa ini umumnya dipergunakan 2 cara pendekatan, yaitu pertama-pertama melihat dinamika dari dorongan-dorongan primitif (khususnya libido) terhadap ego dan bagaimana superego menahan dorongan-dorongan primitif itu. Pendekatan kedua adalah pendekatan sejarah kasus (Case history), terutama untuk melihat fase-fase perkembangan dorongan seksual apakah berjalan wajar, apakah ada hambatan-hambatan dan kalau ada di fase mana mulai terjadi hambatan itu.
Freud percaya bahwa dorongan-dorongan primitif, maupun hal-hal yang derepresi, yang tidak dapat muncul dalam kesadaran dapat memunculkan dirinya dalam bentuk simbol-simbol dalam mimpi. Karena itu dengan menganalisa mimpi freud mengharapkan bisa mengetahui dinamika kepribadian penderita yang bersangkutan.
Teknik yang lain adalah membiarkan penderita berbicara sendiri sebebas-babasnya dengan menggunakan asosiasi bebas. Dalam teknik ini penderita yang disuruh berbaring, serileks mungkin diminta untuk mengasosisikan kata-kata yang diucapkannya sndiri atau kata-kata yang dilontrkan oleh dokter yang memeriksa dengan kata-kata yang pertama kali muncul di ingatannya. Dengan teknik ini, Freud mengharapkan dapat menjaga isi ketidaksadaran dari penderita yang bersangkutan.

PROSES KONSELING
Tujuan konseling secara umum adalah membentuk kembali struktur karakter individu dengan membuat yang tidak sadar menjadi sadar pada diri klien. Proses dipusatkan pada usaha menghayati kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak. Pengalaman masa lampau ditata, didiskusikan, dianalisa, dan ditafsirkan dengan tujuan untuk merekontruksikan kepribadian. Satu karakteristik konseling ini adalah bahwa terapi atau analisa bersikap anonim(tak dikenal) dan bertindak dengan sangat sedikit menunjukan perasaan dan pengalamanya, sehingga dengan demikian klien akan memantulkan perasaanya kepada konselor.
Konselor terutama berkenaan dengan membantu klien mencapai kesadaran diri, ketulusan hati, dan berhubungan pribdi yang lebih efektif, dalam menghadapi kecemasan melaui cara-cara realistis. Pertamam-tama konselor harus membuat suatu hubungan kerjasama dengan klien dan kemudian melakukan serangkaian kegiatan mendengarkan dan menafsirkan. Konselor memberikan perhatian kepada resistensi atau penolakan klien. Sementara klien berbicara, konselor mendengarkan dan memberikan penafsiran yang memadai fungsinya adalah pempercepat proses penyadaran hal-hal yang tersimapan dalam ketidaksadaran.

TEKNIK-TEKNIK KONSELING
Asosiasi bebas
Teknik pokok dalam terapai psikoanalisa adalah asosiasi bebas. Konselor memerintahkan klien untuk menjernihkan pikiranya adari pemikiran sehari-hari dan sebanyak mungkin untuk mengatakan apa yang muncul dalam kesadaranya. Yang pokok, adalah klien mengemukakan segala sesuatu melalui perasaan atau pemikiran dengan melaporkan secepatnya tanpa sensor. Metode ini adalah metoda pengungkapan pangalaman masa lampau dan penghentian emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatik dimasa lalu.
Interpretasi
Adalah prosedur dasar yang digunakan dalam analisis asosiasi bebas, analisi mimpi, analisis resistensi dan analisis transparansi. Prosedurnya terdiri atas penetapan analisis, penjelasan, dan mengajarkan klien tentang makna perilaku dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi interpretasi adalah membiarkan ego untuk mencerna materi baru dan mempercepat proses menyadarkan hal-hal yang tersembunyi.
Analisis Mimpi
Merupakan prosedur yang penting untuk membuka hal-hal yang tidak disadari dan membantu klien untuk memperoleh tilikan kepada masalah-masalah yang belum terpecahkan.
Analisis Dan Interpretasi Resistensi
Freud memandang resistensi sebagai suatu dinamika yang tidak disadari yang mendorong seseorang untuk mempertahankan terhadap kecemasan. Interpretasi konselor terhadap resistensi ditujukan kepada bantuan klien untuk menyadari alasan timbulnya resistensi.
Analisis Dan Interpretasi Transferensi
Transferensi (pemin dahan) yang muncul dengan sendirinya dalam proses terapeutik pada saat dimana kegiatan-kegiatan klien masa lalu yang tak terselesaikan dengan orang lain, menyebabkan dia mengubah masa kini dan mereaksi kepada analisis sebagai yang dia lakukan kepada ibunya atau ayahnya ataupun siapapun.
Tujuan-tujuan konseling secara spesifik adalah membawa klien dari dorongan-dorongan yang ditekan (ketidaksadaran) yang mengakibatkan kecemasan kearah perkembangan kesadaran intelektual. Menghidupkan kembali masa lalu klien dengan menembus konflik yang direpres. Memberikan kesempatan pada klien untuk menghadapi situasi yang selama ini gagal diatasinya.
HUBUNGAN KLIEN DENGAN KONSELOR
Menurut Prochaska (1984), bahwa dalam konseling psikoanalisis terdapat dua bagian hubungan klien dengan konselor. Yaitu aliansi (working alince) dan transferensi (transfernce), yang dalam konseling keduanya memiliki fungsi yang berbeda.
Bordin menyatakan bahwa sikap aliansi sebagai satu bentuk kerjasama antara klien dengan konselor didasarkan atas kesepakatan mereka atas tujuan-tujuan dan tugas-tuigas konseling dan atasa perkembangan keterikatanya (Kivlighan & Shaughnessy,1995).
Aliansi terjadi pada awal hubungan konselor dengan klien, bersifat relatif rasional, realistik, dan tidak neurotis. Aliansi merupakan prakondisi untuk terjadinya keberhasilan konselor, sejak sikap rasional diberikan oleh klien untuk bekerjasama dengan konselor.
Transferensi merupakan pengalihan segenap pengalaman masa lalunya terhadap orang-orang yang menguasainya yang ditunjukan kepada konselor. Dalam psikoanalisis transferensi merupakan bagian penting yang perlu dianalisis, yaitu dalam hal membantu klien dalam membedakan antara khayalan dengan realitas tentang orang-orang yang telah menguasainya (Significant Others). Transferensi membantu klien dalam memahami tentang bagaimana dirinya telah salah dalam menerima, menginterpretasikan, dan merespon pengalamannya pada saat ini dalam kaitannya dengan masa lalunya (Gilliland dkk., 1984).







KONSELING KELOMPOK


A. PENGERTIAN KONSELING KELOMPOK
Konseling kelompok (group counseling) adalah salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik (feed back) dan pengalaman belajar. Dalam konseling kelompok prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika kelompok (group dynamic). Menurut Gazda (1989) konseling kelompok adalah “group counseling is a dynamica interpersonal process focusing on conscious thought and behaviour and involving the therapy function of permissiveness, orientation to reality, catharsis, and mutual trust, caring, understanding acceptanc, and support. The therapy functions are created and nurtured in small group through the sharing of personel concern with one’s peer ang the counselor.
Berdasarkan pengertian diatas, maka konseling kelompok secara prinsipil adalah sebagai berikut:
 Konseling kelompok merupakan hubungan antara (beberapa) konselor dan beberapa konseli.
 Konseling kelompok berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang disadari.
 Dalam konseling kelompok terdapat faktor-faktor yang merupakan aspek terapi bagi konseli.
 Konseling kelompok bermaksud memberikan dorongan dan pemahaman pada konseli untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi konseli.

B. PENDEKATAN KELOMPOK
Banyak sekali pendekatan kelompok yang digunakan sebagai bentuk intervensi psikososial yaitu bimbingan kelompok, psikoterapi kelompok, dan kelompok diskusi terfokus. Pendekatan-pendekatan tersebut dapat dibedakan menurut jenisnya, sebagai berikut:
 Psikoterapi kelompok
Psikoterapi kelompok merupakan bantuan yang diberikan oleh psikoterapis terhadap konseli untuk mengatasi disfungsi kepribadian dan interpersonalnya dengan menggunakan interaksi emosional dalam kelompok kecil. Psikoterapi kelompok ini lebih memfokuskan pada ketidaksadaran, dan pasien yang mengalami gangguan neurotic atau problem emosionanl berat lain, dan dilakukan untuk jangka panjang.
 Konseling kelompok
Konseling kelompok merupakn kelompok terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu konseli dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok lebih ditekankan untuk proses remedial dan pencapaian fungsi-fungsi secara optimal. Dalam konseling kelompok mengatasi konseli dalam keadaan sadar yang tidak mngalami gangguan neurotic dan gangguan fungsi-fungsi kepribadian, serta diselenggarakan dalam jangka waktu pendek atau menengah.
 Kelompok latihan dan pengembangan
Kelompok layihan dan pengembangan ini merupakan pendidikan kesehatan mental dan bukan kelompok terapeutik. Biasanya digunakan untuk melatih sekelompok orang ynag berkeinginan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan tertentu, yang tujuannya secara umum bersifat antisipatif dan pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya hambatan.
 Diskusi kelompok terfokus
Diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) merupakan kegiatan diskusi , tukar pikiran beberapa orang mengenai topic-topik khusus yang telah disepakati oleh anggota kelompok. Topic-topik ini yang dibicarakan adalah topic yang diminati dan disepakati oleh anggota kelompok. Peserta diskusi tidak hrus yang mengalami permasalahan yang sama dengan bahan topic yang dibicarakan tetapi orang tersebut ada minat untuk partisipasi dalam diskusi.
 Self-help
Self-help merupakan forum kelompok yang dijalankan oleh beberapa orang (4-8 orang) yang mengalami masalah yang sama dan berkeinginan untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman sehubungan dengan mengatasi masalah yang sedang dihadapi dan mengembangkan potensinya secara optimal.

C. TUJUAN KONSELING
Konseling kelompok berfokus pada usaha membantu konseli dalam melakukan perubahan dengan menaruh perhatian pada perkembangan dan penyesuain diri sehari-hari. Konseling kelompok merupakan salah satu bentuk terapeutik yang berhubungan dengan pemberian bantuan berupa pengalaman penyesuain dan perkembangan individu. Tujuan konseling dasarnya dapat dibedakan menjadi dua tujuan yaitu tujuan teoritis dan tujuan operasionalnya.
Tujuan teoritis yang berkaitan dengan tujuan yang secara umum dicapai melalui proses konseling. Tujuan teoritis menurut Corey(1995:7-8) adalah sebagai berikut:
 To learn to trust onself and others.
 To achieve self-knowledge and develop a sence of one’s unique identity.
 To recognize the communality the participanys needs and problems and develop a sence of universality.
 To increase self acceptance, self-confidence, and self-respect in order to achieve a new view of oneself.
 To learn more effective social skill
 To become aware of ones choices and to make choices wisely
 To learn how to confront others with care, concern, honesty, and directness.
Sedangkan tujuan operasionalnya disesuaikan dengan masalah konseli dan dirumuskan secara bersama-sama antara konseli dan konselor. Tujuan-tujuan diatas dapat tercapai dengan pendekatan pemberian dorongan (supportive), dan pemahaman melalui reedukatif (insight-reeducative)

D. MANFAAT DAN KETERBATASAN KONSELING KELOMPOK
Manfaat yang didapat jika menerapkan konseling kelompok ini adalah dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan, perilaku antisocial, pendidikan dan remaja. Pendekatan kelompok yang diterapkan dalam proses konseling didasarkan atas pertimbangan bahwa pada dasarnya kelompok dapat pula membantu memecahkan sejumlah individu yang bermasalah. Menurut Wiener mengatakan bahwa interaksi kelompok memiliki pengaruh positif untuk kehidupan individu karena kelompok dapat jadikan sebagai media untuk meningkatkan pemahaman diri dan perubahan tingkah laku individual.
Menurut George M. Gazda dalam Group Counseling: A Developmental Approach (1978) dan dikutip oleh Shertzer dan Stone sebagai berikut: ”konseling kelompok adalah suatu proses antarpribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang disadari.” Menurutnya, proses itu mengandung ciri-ciri yang terapeutik yang diciptakan dan dibina pada suatu kelompok kecil dengan mengemukakan kesulitan dan keprihatinan pribadi kepada sesame anggota kelompok dan konselor. Secara umum, cirri terapeutik adalah saegala yang melekat pada interaksi antarpribadi dalam kelompok dan membantu untuk memahami diri dengan lebih baik dan menemukan penyelesaian berbagai kesulitan yang dihadapi.
Bagi siswa dan mahasiswa, konseling seperti ini sangat bermanfaat karena adanya interaksi semua anggota kelompok, sehingga kebutuhan psikologis mereka dapat terpenuhi, lebih rela menerima masukan dari rekan konseli dari pada mereka konseling secara individual dan lebih terbuka pada tuntunan mengatur tingkah lakunya agar terbina hubungan social yang lebih baik.
Sedangkan keterbatasan yang ada jika menerapkan konseling dalam pendekatan kelompok adalah
 Setiap konseli perlu berpengalaman konseling individu sehingga konseli tidak ada kesulitan untuk langsung masuk kelompok tanpa diawali dengan tahapan-tahapan sebelumnya. Pengalaman pada konseling individu diperlukan bagi konseli.
 Persoalan beberapa anggota ada yang tidak terselesaikan dengan baik, karena masalah yang dibahas secara umum atau perhatian kelompok terfokus pada permasalahan konseli yang lain.
 Konselor akan menghadapi masalah yang lebih kompleks dan konselor secara spontan harus dapat memberi perhatian kepada setiap konseli yang semuanya menuntut diberikan porsi perhatian yang wajar. Kemampuan secara spontan memberi perhatian untuk banyak konseli dan mengamati satu persatu tingkah lakunya sepanjang hubungan konseling adalah keharusan dan hal ini tentunya tidak mudah dilakukan bagi seorang konselor.
 Kelompok dapat berhenti karena proses kelompok, waktu yang tersedia tidak mencukupi dan membutuhkan waktu yang lama dan ini dapat menghambat perhatian terhadap konseli.
 Kekurangan informasi individu lebih baik ditanangani dengan konseling individu dari pada ditangani dengan konseling kelompok.
 Seseorang sulit percaya pada anggota kelompok, akhirnya perasaan, sikap, nilai, dan tingkah laku tidak dapat dibawa kesituasi kelompok. Jika hal ini terjadi hasil yang optimal tidak akan diperoleh dalam konseling kelompok.
Jika dilihat dari sisi konselinya, menurut George and Cristiani, konseling kelompok ini tidak cocok untuk konseli yang memiliki karakteristik adalah sebagai berikut:
 Dalam keadaan kritis
 Menganggap masalahnya bersifat konfidensdial dan penting untuk dilindungi
 Sedang dalam proses penginterpretasian tes yang berhubungan dengan self-concept
 Memiliki ketakutan berbicara yang luar biasa
 Bener-bener tidak efektif dalam keterampilan hubungan interpersonal.
 Memiliki kesadaran yang sangat terbatas
 Konseli mengalami penyimpangan seksual
 Konseli membutuhkan perhatian yang sangat besar dan terlalu besar jika diselenggarakan dalam bentuk konseling kelompok.
Konseling kelompok memiliki kesamaan dengan konseling individu, yaitu:
1. tujuan yang dicapai; konseli lebih memahami diri sendiri dan mampu mengatur kehidupannya sendiri.
2. suasana berkomunikasi dan berinteraksi; memungkinkan keterbukaan, pengungkapan pikiran dan perasaan secara bebas dan leluasa, dan saling menerima karena salang menghargai
3. kompetensi konselor untuk berakar pada corak kepribadian dan bersumber pada keterampilan membina suasana kebersamaan (maintenance function) dan mengarahkan proses konseling agar efektif dan efisien (task function) dengan menggunakan teknik verbal dan nonverbal.
4. taraf kesehatan mental konseli tergolong kelompok orang yang normal dalam menghadapi tuntutan dan tantangan serta mengalami kesulitan dalam mengembangkan diri secara optimal.
5. ada jaminan kerahasiaan pembicaraan dalam wawancara konseling.
6. bahan pembicaraan menyangkut bidang akademik, jabatan dan pribadi-sosial.

Selain itu juga ada beberapa perbedaan dengan konseling individual yaitu:
No. Konseling kelompok Konseling individu
1. Ada kesempatan berkomunikasi dengan teman sebaya tentang segala yang membuat risau di hati Sebatas pada interaksi dengan konselor
2. Anggota saling memberikan bantuan psikologis Unsur saling memberikan tidak ada
3. Tugas konselor berat karena harus membagi perhatian dan mengikuti jalannya pembicaraan bersama secara seksama. Tugas konselor lebih ringan.
4. Para konseli ikut bertanggungjawab terhadap pembinaan persatuan kelompok dan kelancaran proses konseling, sehingga motivasi para konseli mendapat orientasi tambahan. Konseli hanya menghadapi dirinya sendiri
5. Lebih pada segala bahan materi pembicaraan yang mengandung segala macam unsure yang juga dialami atau mudah dirasakan oleh anggota yang lain Tepatnya pada masalah pilihan antara beberapa alternative yang membutuhkan peninjauan terhadap keuntungan dan kerugian berkaitan denagn situasi kehidupan seseorang.
6. Seseorang yang membutuhkan belajar lebih memahami dan menghargai kepribadian orang lain, mudah berbicara tentang dirinya sendiri, membutuhkan orang lain untuk bertukar pikiran. Lebih seseorang yang sedang mengalami krisis, ada masalah di bidang seksual, dan yang cenderung mencari perhatian orang lain

E. STRUKTUR DALAM KONSELING KELOMPOK
Struktur kelompok dalam konseling kelompok ini melibatkan orang yang terlibat kelompok, jumlah orang yang menjadi partisipan, banyak waktu yang diperlukan, dan sifat kelompok. Jumlah anggota kelompok,pada umumnya beranggotakan 4-12 orang. Jika kurang dari 4 tidak efektif karena dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Jika lebih dari 12 terlalu besar untuk konseling karena terlalu berat dalam mengelola kelompok. Untuk menetapkan jumlah konseli yang berpartisipasi dalam konseling kelompok dapat ditetapkan menurut kemampuan konselordan pertimbangan efektivitas proses konseling. Jika jumlah anggota terlalu besar maka konselor membutuhkan co-konselor.
Sifat kelompok, sifat kelompok ini bisa terbuka dan tertutup. Terbuka jika pada saat menerima anggota baru dan dikatakan tertutup jika keanggotaannya tidak memungkinkan adanya anggota baru. Terbuka dan tertutupnya sifat kelompok ini bergantung kepada keperluan konseling kelompok tersebut.

F. TAHAPAN KONSELING KELOMPOK
Dalam konseling kelompok terdapat enam tahapan yaitu tahap pembentukan kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, serta tahap evaluasi dan tindak lanjut. Tahapan-tahapan itu dijelaskan secara singkat:
• Pra konseling: Pembentukan kelompok.
Pada tahap ini dilakukan seleksi anggota dan menawarkan program kepada calon sekaligus membangun harapan kepada calon peserta. Ada ketentuan-ketentuan yang mendasari penyelenggaraan konseling jenis ini yaitu adanya minat bersama, sukarela atau atas inisiatifnya sendiri, adanya kemauan untuk berpartisipasi dalam proses kelompok, dan mampu untuk berpartisipasi didalam proses kelompok.
• Tahap I: Tahap permulaan (Orientasi dan Eksplorasi)
Tahap ini menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota muai belajat fungsi kelompok, mulai menegaskan tujuan kelompok, mulai mengenalkan dirinya, mulai membangun norma untuk mengontrol aturan-aturan kelompok dan mulai menyadari makna kelompok untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Sedangkan peran konselor adalah membantu untuk menjelaskan tujuan kelompok dan para anggota kelompok diajak untuk bertanggung jawab terhadap kelompok, terlibat dalam proses kelompok, mendorong konseli agar berpartisipasi sehingga keuntungan akan diperoleh.
• Tahap II: Tahap Transisi
Tahap ini masalah yang dihadapi masing-masing konseli dirumuskan dan diketahui apa-aoa saja sebabnya. Dalam tahp ini kelompok mulai terbuka tetapi terjadi kecemasan, rtesistensi,konflik, dan bahkan ambivalensi tentang keanggotaannnya dalam kelompok, atau enggan jika untuk membuka diri. Tugas pemimpin kelompok disini adalah mempersiapkan mereka bekerja untuk dapat merasa memiliki kelompoknya.


• Tahap III: Tahap Kerja-kohesi dan Produktivitas
Pada tahap ini mulai menyusun rencana-rencana tindakan. Penyusuan tindakan disebut produktivitas dan kegiatan konseling kelompok ditandai dengan membuka diri lebih besar, menghilangkan defensive, terjadinya konfromtasi antara anggota kelompok, modeling, belajar perilaku baru, mulai belajar bertanggung jawab, tidak mengalami lagu kebingungan. Dengan adanya rencana-rencana tindakan anggota merasa berada didalam kelompoknya dan adanya kepuasaan dengan kegiatan kelompok.
• Tahap IV: Tahap Akhir (konsolidasi dan Terminasi)
Pada taha[ ini anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan tingkah laku dalam kelompok, setiap anggota kelompok memberikan umpan balik. Umpan balik ini sangat berguna untuk perbaikan dan dilanjutkan atau diterapkan dalam kehidupan konseli jika dipandang telah memadai. Pada tahap ini juga terjadi mentransfer pengalaman dalam kelompok dan jika ada konseli yang memiliki permasalahna yang pada fase sebelumnya belum terselesaikan maka pada tahap ini harus diselesaikan.
• Setelah konseling: Tindak lanjut dan Evaluasi
Setelah beberapa waktu konseling kelompok perlu dievaluasi. Tindak lanjut dilakukan jika ada kendala-kendala dalam pelaksanaan dilapangan. Maka mungkin diperlukan upaya perbaikan terhadap rencana-rencana semula atau perbaikan terhadap cara pelaksanaannya.

G. FAKTOR KURATIF
Untuk mencapai tujuan dan maksud konseling, maka ada elemen yang harus diciptakan dan terjadi selama proses konseling berlangsung. Menurut Yalom terdapat 11 aspek dari factor-faktor kuratif, yaitu:
1. membina harapan
membina harapan dengna tujuan bahwa konseli optimis terhadap kemajuannya atau berpotensial untuk lebih baik melalui konseling kelompok. Menyadari bahwa dirinya akan lebih baik lagi dan kelompok dapat membantu untuk mendapatkan kemajuan-kemajuan.
2. universalitas
universalitas ini maksudnya adalah permasalah yang dialami konseli tidak sendiri sehingga konseli dapat memiliki perasaan dan keinginan yang sama untum menghilangkan masalah yang dialaminya. Jadi ia menyadari bahwa dirinya tdak sendiri.
3. pemberian informasi
konseli mendapatkan informasi dan bantuan dari konselor dan anggota kelompok lainnya tentang pemecahan masalahnya atau hal-hal lain yang bermakna bagi kebaikan dirinya.
4. altruisme
merasa banyak belajar dari kegiatan konseling ini maka konseli itu dapat mendorong, memberikan komentar, memberikan nasihat kepada anggota lainnya. Sehingga konseli itu merasa dibutuhkan untuk dapat diminta bantuan dan menyadari bahwa dirinya dapat mendukung keperluan anggota lainnya.
5. pengulangan korektif keluarga primer
konselor dan co-konselor dianggap sebagai orang tua dan anggota kelompok lainnya dianggap sebagai saudara dan dia belajar mencoba perilaku baru dalam berhubungan dengan orang lain.
6. pengembangan teknik sosialisasi
konseli belajar berhubungan dengan orang lain dan konseli belajar menyelesaikan konflik-konflik, mau mengerti dan memahami orang lain serta menciptakan rasa tenggang rasa dengan anggota kelompok lainnya.
7. peniruan tingkah laku
dalam konseling ini konseli mendapatkan contoh model yang positf dari anggota kelompok lain ataupun dari konselor dan co-konselor.
8. belajar menjalin hubungan interpersonal
konseli mulai mengekspresikan dirinya kepada anggota lain untuk menjelaskan hubungan dirinya dengna mereka, atau membuat eksplisit usaha-usaha dalam menjalin hubungan anggot yang lainnya.
9. kohesivitas kelompok
konseli merasa diterima dan merasa memiliki didalam anggota kelompoknya dan secara terus menerus membangun kontak dengan anggota lain, sehingga merasa nyaman dan dapat memberi dan menerima umpan balik dari para anggota kelompok.
10. katarsis
konseli melepaskan seluruh perasaannya baik yang positif maupun yang negative dan mengekspresikan perasaannya seperti cinta, marah, dan kesedahannya.
11. factor-faktor eksistensial
konseli menyadari akan eksistensi hidup, ada hidup sekaligus kematian, ada dan perlu tanggung jawab, mengurusi hal-hal yang sepele tetapi bermakna dalam kehidupan.


wallahualam...

Rabu, 01 April 2009

CINTA, KASIH SAYANG, DAN KELEMBUTAN DISERTAI ETIKA KEBIJAKSANAAN DAN KEADILAN


CINTA, KASIH SAYANG, DAN KELEMBUTAN DISERTAI ETIKA KEBIJAKSANAAN DAN KEADILAN

Seluruh urusan yang dilakukan tidak bersifat berlebihan dan tidak pula lalai. Demikianlah yang dilakukan oleh para pendahulu kita yang shalih sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.

a. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasi-i dan yang lainnya dengan sanad yang shahih dan hadist Ummul Mukminin, ‘Aisyiyah, beliau berkata: “Tidak pernahaku melihat seseorang yang lebih menyererupai Rasulullah SAW di dalam rupa, keadaan, dan tingkah laku daripada Fatimah Karramallahu Wajhaha. Jika dia datang kepada beliau, maka beliau berdiri menyambutnya, mengambil tanganya, menciumnya dan mendudknya di tempat duduknya. Dan jika beliau yang datang kepadanya, maka dia berdiri menyambutnya, mengambil tangannya, menciumnya dan menduduknya di tempat duduknya.”

b. Sungguhpun demikian, tegasya beserta kasih sayang yang sangat besar kepadanya, Rasulullah bersabda:


c. Dan Rasulullah, walaupun sangat penuh kasih sayangnya kepada Usamah bin Zaid, akan tetapi beliau mnolak syafa’at yang diajukan dalam masalah hukuman yang telah Allah tetapkan:
“Sesungguhnya kaum Quraisy merasa gundah karena masalah yang menimpa seorang wanita Makhhzumyyah yang telah mencuri, lalu mereka berkata,’Siapakah yang akan membicarakan masalah ini Rasulullah, tidak ada seorang pun berani melakukannya kecuali Usamah bin Zaid, kecintaan Rasulullah, Akhirnya Usamah membicarakannya kepada Rasulullah. Beliau berkata, ‘Apakah engkau meminta syafa’at dalam salah satu (hokum) hadd dari huduud (batasan-batasan Allah)?”. Kemudian beliau berdiri untuk berkhutbah dan berkata, ‘wahai manusia, sesungguhnya kesesatan orang-orang sebelum kalian karena jika orang mulia diantara mereka mencuri, maka mereka mereka membiarkannya. Sedangkan jika orang lemah yang mencurinya, maka merka menegakkan hukuman hukuman kepadanya hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri , maka Muhammad yang akan memotong tangannya.”

Saying I love you

Saying I love you
Is not the words I want to hear from you
It's not that I want to
Not to say, but if you only knew
How easy it would be to show me how you feel
More than words is all you have to do to make it real
Then you wouldn't have to say that you love me
Cause I'd already know

What would you do if my heart was torn in two
More than words to show you feel
That your love for me is real
What would you say if I took those words away
Then you couldn't make things new
Just by saying I love you

More than words

Now that I've tried to talk to you and make you understand
All you have to do is close your eyes
And just reach out your hands and touch me
Hold me close don't ever let me go
More than words is all I ever needed you to show
Then you wouldn't have to say that you love me
Cause I'd already know

What would you do if my heart was torn in two
More than words to show you feel
That your love for me is real
What would you say if I took those words away
Then you couldn't make things new
Just by saying I love you

More than words

Minggu, 06 Juli 2008

hikmah sekolah di Lembaga Muhammadiyah


Ditulis oleh virgo sulianto gohardi
Thursday, 03 April 2008
Beruntung Saya Tidak Sekolah di Muhammadiyah
(Catatan Imaginatif tentang Pendidikan)

Oleh: Eko Prasetyo

Pendidikan itu bukan hanya mengisi sebuah keranjang, Melainkan menyalakan sebuah api
(William Butler, Peraih nobel Sastra)

Aku bertemu dengan seorang teman lama. Pria yang kini berposisi mapan sebagai pengusaha. Ia dulu teman satu lingkungan sekolahan. Kebetulan sekolah kami berdekatan. Saya tinggal di sekolah swasta nasional sedang ia menempuh pendidikan di Muhammadiyah. Kebetulan tiap olah raga kami memakai lapangan yang sama. Itulah awal perkenalan dan persahabatan kami. Hanya kemudian setelah lulus saya mulai jarang bertemu denganya. Saya hanya dengar kabar ia kini jadi pengusaha besar. Punya bisnis meubel yang lumayan hingga mampu mengekspor produk. Namanya bahkan tercatat sebagai pengurus partai. Jadi pengusaha kayaknya syarat untuk menjadi apapun di negeri ini. Kedudukan yang kini mengalahkan posisi serdadu.
‘wakh-wakh tak kusangka kita bertemu disini’ begitu tegurnya setelah kami duduk di sebuah tempat makan yang siang itu ramai pengunjung.
‘ya aku juga tak menyangka ketemu kamu disini’
‘bagaimana kabar keluarga? Tanyanya ramah
‘alkhamdulillah. Semua sehat dan kami kini tambah diberi tambahan momongan. Yang nomor dua masih play group dan yang besar baru menginjak kelas 1 SD. Sedang yang ketiga masih usia dua bulan’
‘sama kalau begitu. Yang kecil aku juga masih TK dan yang besar sudah kelas dua’
Kami bicara seperti layaknya masih muda dulu. Kebetulan istrinya adalah seorang yang sangat kukenal. Pengurus organisasi Muhammadiyah yang aktif dan rajin. Dulu kami satu angkatan pelatihan. Namanya masih pelajar belum remaja Muhammadyah. Atau IPM belum IRM.Ingatan atas istrinya menjadi perbincangan yang saling menyambung. Kini istrinya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga yang sibuk memberesi problem rumah. Aku merasa kagum dan salut. Sebuah posisi yang dimuliakan di Venezuela dan negeri-negeri Amerika Latin!
‘memang harus begitu. Dimana-mana banyak penelitian membuktikan seorang anak berhasil biasanya muncul dari model keluarga tradisional. Ibu di rumah dan suami yang bekerja. Kurasa keputusan istrimu itu sangat tepat. Salam untuknya dan aku sangat kagum dengan kesediannya untuk bekerja di rumah
Ia tersenyum dan tampak sangat bangga dengan komentarku. Mungkin ini karena aku juga memutuskan untuk membangun pola seperti itu. Istriku memutuskan untuk tinggal di rumah. Anak-anak kami diasuh olehnya. Memang agak repot tapi ini membuatku tidak kuatir kalau meninggalkan rumah. Anakku berada di tangan ibunya sendiri.
‘jadi apa yang kaulakukan sekarang? Tanyanya sedikit terburu
‘aku sekarang sedang mendirikan sekolah gratis buat anak-anak miskin’ jawabku dengan agak antusias.
Tiap aku bilang tentang sekolah gratis aku selalu saja gembira. Entah mengapa itu seperti aku ditanya tentang bagaimana wajah puteraku. Idam-idaman tentang sekolah gratis jadi harapanku hari-hari ini. Sebuah sekolah yang tidak mengikat siswanya dengan nilai-nilai material. Sebuah pendidikan yang berkaca pada prinsip kerelaan, solidaritas dan keberpihakan. Hingga kini tiap orang bicara tentang pendidikan maka gagasan sekolah gratis itu menarikku untuk berdebat. Kudirikan sekolah gratis untuk menangkal badai materialisme yang kini menghantam banyak sekolah. Sebuah badai mengerikan yang menjepit kemampuan sosial orang-orang miskin. Yang jumlahnya kian hari kian membumbung.
‘wakh luar biasa, kenapa kaudirikan sekolah gratis ini? Tanyanya agak serius
‘begini kawan, aku sendiri kasian melihat banyak orang tua sekitar yang mengeluh tentang biaya pendidikan yang mahal. Beberapa anak memutuskan untuk berhenti sekolah karena biaya. Padahal kau dan aku bisa seperti sekarang karena sekolah. Sekolah itu tangga kita untuk naik kelas sosial yang lebih tinggi. Jika tanpa sekolah pasti kita semua ini akan tetap seperti dulu. Engkau dan aku hanya berdiam di dusun yang sekarang hampir berisi orang-orang tua. Aku akan meneruskan usaha kedai ayahku dan kau hanya menjadi pegawai meneruskan ayahmu juga. Sekolah kawan yang merubah kau dan aku’
Kusiram ceramahku yang biasa kuberikan di berbagai forum. Ingin kuingatkan kata banyak ahli pendidikan tentang daya dobrak sebuah pendidikan. Tanpa pendidikan mungkin Soekarno, Hatta, Sjahrir atau Tan Malaka hanya menjadi penduduk kolonial. Yang tidak akan berfikir tentang sebuah nation dan gagasan soal kedaulatan. Pendidikan mengenalkan mereka tentang identitas bahkan ideologi sebuah bangsa. Tanpa sekolah semua itu mungkin hanya barang asing yang tidak akan mereka kenali. Kini aku ingin sebagaimana pemerintahan kolonial dulu yang mengenalkan pendidikan kemanusiaan sejak dini. Bukan hanya gratis tapi juga memberi mereka atlas tentang harga diri sebuah bangsa dan arti sebuah kedaulatan. Tapi aku sengaja memendam harapan ini di hadapan kawanku yang lama sekali tak kutemui. Aku bahkan ingin sekali mendengar tanggapanya
‘aku setuju dengan pertimbanganmu. Kau tahu sendiri aku sangat pragmatis. Bahkan dalam segala hal. Anakku kini kusekolahkan di sekolah terbaik dengan biaya yang sangat mahal. SPP nya sebulan mencapai 350 ribu rupiah. Tapi kalau kusekolahkan ke sekolah murah pastilah kau bisa perkirakan bagaimana kualitasnya. Kalau aku secara pribadi berpandangan semua pendidikan butuh biaya. Dan itu harus ditebus dengan biaya mahal. Tapi tak semua orang punya pandangan sama denganku bukan?
Ia lontarkan pertanyaan itu ke arahku. Seperti sebuah lemparan sarung tinju yang harus kukenakan. Aku mengenalnya sangat lama. Kawanku ini dulu anak seorang guru yang sederhana. Sekolah Muhammadiyah kebetulan dekat dengan rumah kami. Sebuah lembaga pendidikan yang berisi banyak orang-orang tak mampu. Sekolah itu berdiri untuk melayani beberapa teman yang tak bisa ditampung di sekolah negeri. Sebuah lembaga pendidikan yang telah menanamkan begitu banyak jasa. Itu yang membuatku termotivasi untuk ikut di salah satu gerakan pelajarnya. Jujur aku terpesona dengan kegigihan orang-orang Muhammadiyah yang telah memangkas semua hambatan di lingkungan kami untuk bersekolah. Aku sesungguhnya rindu dengan tindakan luar biasa ini. Sebuah tindakan yang kini sudah jarang aku temukan pada pewaris-pewarisnya
‘engkau ingat sekolahmu dulu? Aku lebaran kemaren sempat pulang dan banyak yang mengeluh betapa berubahnya sekolah itu. Kini ongkos masuknya melebihi sekolah negeri. Katanya ada kelas khusus unggulan yang patokanya adalah biaya dan kepandaian. Tapi yang terpenting adalah, biaya! Malahan sekarang disiplin keagamaanya mirip dengan sekolah-sekolah Islam Terpadu. Kau tahu sendiri kita ini tumbuh sama-sama di masyarakat religius. Tapi dulu kita tidak mengalami pemaksaan yang mengerikan dan bahkan bangunanya sekarang rapat dengan tembok-tembok tertutup. Kau pasti tahu lapangan tempat kita main sepak bola sekarang sudah disulap menjadi laboratrium komputer. Semua yang dulu membuat kita bisa berdekatan dan bergaul kini lenyap. Aku merasa kehilangan, entah kalau kamu’
Ya tiba-tiba aku terbang dalam ingatan masa lampau. Saat sekolahku dan sekolahnya tak ada pembatas. Kami bergaul rapat dan saling membantu dalam segala hal. Bahkan lapangan sepak bola itu menjadi milik bersama. Identitas sekolahku dan sekolahnya berbeda. Aku tinggal di sekolah swasta yang agak nasionalis dan ia belajar di Muhammadiyah. Tapi kami jarang sekali konflik. Biarpun berbeda kami tak pernah merasa kesal dan kecewa satu sama lain. Belajar butuh kebebasan intelektual dan pemahaman akan kemajemukan. Mungkin itu yang kini mulai dibangun dan coba ditegakkan dalam iklim sekolah inklusi Sebuah sekolah yang merayakan perbedaan dan memberikan ruang pada murid untuk memahami keaneka ragaman. Tampaknya identitas kini jadi perkara mendesak yang menggelisahkan banyak orang. Termasuk diri kawanku ini.
‘benar sekolah kita telah berubah. Tapi bukankah hidup ini memang harus berubah. Anakmu dan anakku pasti berbeda dengan semasa kecil kita dulu. Kalau kita dulu habiskan waktu main bola di halaman samping sekolah hingga petang lalu belajar mengaji di musholla bersama. Tapi sekarang tiap sore anakku harus kuantar untuk les renang, kadang piano dan bahasa asing. Aku ingin anakku berhasil melebihi diriku. Apalagi masa depan sulit untuk dibaca. Yang kutahu masa depan mensyaratkan kemampuan yang unggul dan aku tak ingin anakku kalah dalam kompetisi yang pasti akan terjadi nanti. Mungkin karena itu aku tak begitu peduli dengan apa yang kaukatakan hilang tadi’
Kulihat raut wajahnya yang gusar dan sepertinya tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakanya sendiri. Balutan jas tuxedo itu seperti tempurung yang menutupi badanya. Tanganya diletakkan diatas meja sambil jarinya mengaduk-aduk jice apokat yang sejak tadi hanya dicicipi sedikit. Aku melihat ia tampak galau dan sedikit cemas. Ia sudah berubah, itu pendapatku.
Mungkin waktu atau pertemuan dengan dunia baru yang merubah kita. Sejak dulu pertanyaan itu menggelisahkanku. Apa yang sesungguhnya berperan besar dalam mengubah pandangan hidup seseorang? Aku kenal kawanku dulu sebaik aku kenal diriku; kami mengaji bersama, main bola bareng dan bahkan punya mimpi serupa. Kuingat cita-citanya adalah jadi sopir bus yang bisa membawanya kemana-mana. Sama denganku. Buatku seorang sopir adalah manusia petualang. Ia tahu kota yang terjauh dan belum pernah kami jamah. Kini pandanganku dan pandanganya sangat berbeda. Lebih mudah dikatakan saling bertabrakan. Ia berdiri persis dihadapan posisi yang kerapkali aku jadikan sasaran kritik. Seorang yang percaya kalau keunggulan intelektual adalah segalanya. Pendidikan sebaiknya berada pada posisi itu. Maka pandangan ini selalu percaya kalau seorang siswa adalah manusia tanpa potensi. Hanya melalui penanaman, pengajaran dan kedisplinan yang spartan baru mereka mampu meraih keunggulan.
Sejumlah sekolah Muhammadiyah mengawali semangat pendidikan dengan karakter seperti itu saat ini. Seorang wali siswa yang anaknya sekolah disana bertutur kepadaku suatu saat:
‘anak saya terlambat masuk dan mendapat hukuman fisik. Saya sebenarnya ingin protes dan sempat mau bertanya kenapa masih melakukan tindakan seperti itu? Saya juga kadang ingin bertanya mengapa anak-anak harus pulang hingga larut untuk mendapat pelajaran tambahan yang banyak sekali jumlahnya? Saya kuatir kalau anak-anak kehilangan waktu dan kesempatan bermain karena sekolah padat dengan pelajaran. Saya bertanya untuk apa uang pendidikan mahal dan selalu saja ada yang dinamakan dengan uang gedung. Kadang saya bertanya ini sekolah untuk anak atau untuk para pengurus?
Mungkin komentar ini agak keterlaluan. Tapi soal biaya dan waktu pembelajaran memang jadi keluhan umum. Tak semua orang tua ternyata senang kalau anaknya sibuk di sekolah. Aku termasuk orang yang tak ingin anak lama di sekolah. Anak buatku tetap berada di bawah asuhan orang tua. Tanggung jawab dan kehangatan hubungan tak bisa digantikan oleh siapapun, termasuk oleh sekolah. Temanku punya pandangan yang mirip dengan tokoh dalam film I’m Not Stupid. Sebuah film yang cocok untuk mereka yang percaya akan pendidikan serius. Anak-anak Singapura yang begitu bebal terhadap sesama dan melihat kawan hanya merupakan pesaing kemampuan. Hidup mereka seperti dalam keadaan terus-menerus berlomba. Mereka saling berlomba. Dan kegagalan adalah sebuah celaan. Kesuksesan walau harus dibayar dengan ongkos sosial tinggi tetap dirasakan perlu. Alangkah mengerikanya pandangan temanku dan mungkin pandangan umum orang tua.
‘benar kawan mungkin kita punya pandangan berbeda dalam mendidik. Kau pasti ingat pak kyai Khasanuddin almarhum yang banyak sekali melatih kita tentang kehidupan. Kita tak pernah diingatkan dan dimarahi kalau lupa mengaji. Beliau tak pernah menghukum. Beliau hanya tak ingin kita hanya duduk berdiam diri. Engkau dan aku selalu disuruhnya melakukan apa saja yang bermanfaat. Katanya, menganggur itu dosa. Dan ketika kita diam membaca selalu saja pak kyai merasa enggan untuk mengganggu bahkan kita kadang diminta untuk menceritakan apa yang sudah kita baca. Satu hal yang diingatkan oleh beliau dan merupakan pesan nabi, jadilah orang yang bermanfaat’
Kulihat muka temanku seperti tergores ingatanya. Aku tahu dialah salah satu santri kesayangan pak kyai. Kawanku suka membaca dan pandai menjelaskan semua hal. Kufikir dulu dia akan menjadi seorang ilmuwan atau setidaknya dosen. Pesan menjadi orang bermanfaat itu kami praktekkan dalam sehari-hari. Pak kyai selalu meminta kami memberitahu tentang apa yang sudah kami lakukan buat membantu orang lain. Bahkan membantu menjemur pakaian tetangga sekalipun dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat. Kini pendidikan bermanfaat itu kemudian dipraktekkan dengan alat ukur yang memalukan. Pendidikan harus bermanfaat bagi diri sendiri dan bermanfaat untuk pasar kerja. Jarang sekali pendidikan meyentuh sisi-sisi sosial yang bisa menempatkan seorang siswa dalam hubungan yang penuh makna. Kebermaknaan mungkin itu yang ditanggalkan oleh dunia pendidikan sekarang ini. Sesungguhnya pendidikan agama bisa meyentuh batas itu tapi jatuh gagal karena banyak bungkusan propaganda. Di sekolah Muhammadiyah tampaknya itu yang dijadikan siasat: membentangkan spanduk penerimaan sambil menyindir sekolah yang berbeda keyakinan. Tawaran toleransi ditenggelamkan oleh semangat fanatisme buta.
Seorang yang sangat populer, psikolog Austria, bernama Victor Frankl pernah mengatakan tentang kekuatan makna. Dikatakan olehnya, ‘pencarian seseorang akan makna adalah motivasi utama hidupnya….dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri…kita dapat menemukan makna dalam setiap bentuk dengan tiga cara yang berbeda (1) dengan menciptakan pekerjaan atau melakukan tindakan: (2) ….dengan menghayati sesuatu, misalnya alam atau kebudayaan atau,…dengan menghadapi ….manusia lain dalam keunikanya-dengan mencintainya….dan (3) melalui sikap kita menghadapi penderitaan yang tak terelakkan…makna masih bisa terdapat dalam penderitaan sekalipun
Kebermaknaan itu yang membuat pendidikan menjadi pematangan kedewasaan. Usai sudah sekolah yang hanya mengandalkan pola ‘hukum dan beri hadiah’. Keunggulan pribadi terbukti tak bisa memberikan insentif yang berarti bagi sebuah suasana sosial. Lebih-lebih di tengah petaka yang sepertinya tak pernah berakhir. Anak-anak kecil berusaha bunuh diri karena tak bisa bayar biaya pendidikan. Orang tua mengeluh karena semua harga barang-barang pokok terus naik. Susu, beras, minyak goreng bahkan air sekalipun diberi label harga. Dan pendidikan yang menjadi kebutuhan pokok tak bisa disentuh oleh mereka yang miskin.
Jumlah resmi orang miskin 39,5 juta. Sebuah angka yang heboh untuk negeri yang merayakan ulang tahun kemerdekaan ke 62. Kini teman dihadapanku adalah lapisan sosial yang beruntung. Pengusaha dan politisi. Aku pun juga berada pada posisi beruntung. Pertanyaan yang mendesak diantara kami tak lain, bagaimana kami memberi manfaat untuk mereka yang kini banyak berposisi sebagai ‘tak beruntung’ ini?
‘ya aku kadang juga berfikir sama denganmu. Banyak anak-anak tak beruntung yang tak mampu sekolah. Tangan kita tak cukup kuat untuk memecah semua soal ini. Itu yang mengantarku untuk hidup di partai politik. Aku merasa punya tangan kuat untuk merubah kebijakan pendidikan yang selama ini kacau. Aku dapat memanggil menteri pendidikan untuk kutegur, kuperiksa bahkan kuadili. Cara ini kaunggap efektif untuk menyelesaikan kekusutan yang ada di lembaga pendidikan. Bukankah kau setuju dengan yang kulakukan. Lebih praktis dan langsung ada di jantung persoalan’
Akh temanku ternyata telah banyak berubah. Optimisme nya tentang partai mirip dengan kepercayaan kami waktu kecil. Kalau Superman itu ada dan mampu terbang hingga ke langit yang teramat tinggi. Rupa-rupanya ia aktivis partai yang tak pernah merasa ditegur oleh rakyatnya sendiri. Aku ingat dengan perkara tegur-menegur ini. Seorang bercerita padaku tentang pertemuan akbar di Muhammadiyah. Seorang menteri pendidikan yang berasal dari organisasi Muhammadiyah dikritik oleh kader muda yang gigih dan cerdas. Tanggapan dingin Mendiknas-yang bisa disebut kader Muhammadyah-menunjukkan betapa lemahnya disiplin organisasi ini. Kawanku seperti bermimpi, mengadili, bertanya, menyanggah kebijakan menteri.
Mana mungkin jika Muhammadiyah sendiri, asal muasal pemegang kebijakan pendidikan, tak mampu untuk mengendalikanya. Tempat dimana Muhammadiyah lahir, Yogyakarta, menjadi contoh tauladan bagaimana komersialisasi dilangsungkan. Sekolah yang memang didedikasikan untuk orang-orang yang mampu. Bagaimanapun aku percaya, kalau cacat dunia pendidikan sekarang ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab Muhammadiyah. Baik sebagai organisasi maupun para kadernya
‘kaufikir dengan mengadili seorang menteri semua soal akan selesai. Kaufikir mudah untuk merubah kebijakan dengan tindakan panggil-memanggil. Mustinya organisasimu Muhammadyah itu bisa melakukan langkah drastis. Menggratiskan pendidikan pada semua sekolah dasarnya, bukanya malah membuat mahal. Daftar ulang membayar, ujian membayar, piknik bayar lagi…semuanya berduit. Bahkan ada uang infak yang jumlahnya sudah ditentukan…itu namanya apa kalau tidak jual beli agama! Coba aku ingin tanya mana di kepulauan ini yang sekolah Muhammadiyah nya gratis? Tak malukah kalian dengan sekolah orang Tionghoa yang sudah 50 tahun membuat sekolah gratis. Tak malukah kalian dengan sekolah Dompet Dhuafa yang juga gratis? Rumah Zakat yang baru berusia muda yang juga buat rumah bersalin gratis? Gratis itu komitmen paling dini kawan untuk mengukur keberpihakan pada sesuatu yang kini diperlakukan secara komersial…maafkan aku jika aku agak kasar, mungkin aku terlampau berharap berlebihan terhadapmu. Aku tak ingin engkau seperti orang mapan yang punya banyak rasa takut, kehilangan inisiatif dan tak memiliki imaginasi’
Aku tiba-tiba ingin pulang kembali ke rumah. Pertemuan ini rasanya berjalan sia-sia dan berakhir dengan kepedihan. Aku panik karena kuatir kata-kataku terlampau tajam untuk didengar. Apa yang biasa kusampaikan di depan anak-anak muda tentu tak patut jika kukatakan dihadapan kawanku yang mapan dan sudah agak ubanan ini. Kutahan semua kegeramanku pada organisasi yang banyak melahirkan para pemuka dan penguasa. Presiden pernah memberi nasehat keliru, agar Muhammadiyah juga berperan sebagai kekuatan wirausaha tak hanya pendidikan. Padahal bagiku, pendidikan adalah kekuatan strategis dan terpokok dalam mengeluarkan bangsa ini dari lubang derita. Peran Muhammadiyah dalam pendidikan sepatutnya dihargai dan didorong dengan lebih optimal. Kalau pendidikan beres maka semua hal bisa diraih. Termasuk ekonomi. Apalagi kalau hanya menjadi wirausaha. Kembali Presiden menunjukkan jalan berfikir yang dangkal dan rapuh.
‘maaf jika aku menyinggungmu. Aku tak ingin pertemuan ini menjadi sebuah pertikaian yang tak berarti. Persahabatan kita lebih dalam ketimbang kedudukan kita saat ini. Aku sekali lagi minta maaf. Salam buat istrimu dan anak-anak. Aku kebetulan ada diskusi siang ini. Jika tak keberatan aku meminta alamat dan nomor HP mu. Maafkan aku kawan’
Kujabat tanganya dengan terburu-buru. Ia memberi nomor HP yang segera kucatat. Kujabat tanganya erat. Tiba-tiba ia memelukku erat
‘kawan kau sadarkan aku yang telah lama tenggelam. Aku punya pandangan sama denganmu. Hanya aku mungkin orang penakut yang kuatir akan perubahan cepat. Maafkan aku juga’
Ia tampak agak gugup dan tercengang. Diundurkanya kursi sambil berdiri dan menatapku agak lama. Ia berdiri dalam wajah yang lemah dan letih. Aku tahu aku telah membangunkan sesuatu yang telah lama terlelap dalam dirinya. Sebuah keyakinan yang dulu membuat kami terikat satu sama lain. Keyakinan yang membuat kita percaya akan kebesaran dan kekuatan negeri ini.
Kami bersama-sama meninggalkan rumah makan itu. Ia menawariku menumpang mobilnya. Kubilang aku membawa motor dan mengucapkan terimakasih atas tawaranya. Kami bersama –sama meninggalkan rumah makan yang mulai didatangi pengunjung yang ingin menuntaskan akhir pekan. Aku susuri jalan sambil mengingat-ingat kembali gugatanku pada pendidikan di Muhammadiyah. Sebuah gugatan yang dulu juga pernah dilampiaskan oleh Paulo Freire. Pendidikan yang membebaskan adalah konsep yang ditawarkanya. Freire. Pendidikan yang berusaha menanamkan kesadaran tentang realitas sosial. Di mata Freire seorang anak memiliki dan mempunyai kesadaran ganda. Kesadaran tentang diri dan kelas sosialnya. Melalui pendidikan seorang anak akan mengalami transformasi pengalaman yang bermakna. Untuk bisa lebih kritis atas sistem yang membelenggunya. Kemarahanku sama halnya dengan yang dikatakan Ivan Illich, seorang revolusioner pendidikan, yang mengatakan kalau selama ini pendidikan hanya mengemban tiga fungsi: 1) sebagai gudang mithos masyarakat 2) pelembagaan kontradiksi-kontradiksi yang dibawa oleh mitos tersebut 3) sebagai locus ritual yang mereproduksi serta menyelubungi perbedaan-perbedaan antara mithos dan realitas.
Mithos itu yang telah mengabaikan kesadaran kritis dan akal sehat pada para peserta didik. Mereka seperti kumpulan domba yang dicangkokkan dan digiring untuk bertindak sebagaimana yang diperintahkan. Di pinggir jalan ada sejumlah bimbingan belajar yang hanya mengajari anak menjawab soal, bukan bertanya. Pertanyaan kini jadi kecurigaan dan tampak mengkuatirkan. Tapi anak-anak yang dibesarkan di lingkungan naif ini bersemangat dan gemar untuk ikut dalam pasukan menjawab soal. Mereka yakin masa depan ada di tangan jenis spesies seperti itu. Jika begitu benarlah kritik yang selama ini dihadapkan pada pendidikan tradisional, yang tidak mampu memberikan kebebasan dan kepercayaan diri pada anak didiknya.Idam-idaman pada pendidikan progresif. sekarang ini baru batas mimpi dan sedikit sekolah yang berani melakukanya. Mungkin karena para guru enggan kehilangan wibawa atau sekolah kemudian jadi mirip sangkar arena bermain.
Kulewati sekolah Muhammadyah yang populer dan diburu-buru oleh banyak orang. Tembok tinggi menutup badan sekolah hingga tampak mirip penjara. Kadang aku bertanya siapa murid yang ada di dalamnya? Murid-murid yang pasti tak terlampau berani menatap keluar karena dibiasakan berpandangan sempit dan terbatas. Jalanan aspal itu hanya tampak kalau murid mau memanjat ke dinding dan mungkin itu akan disebut pelanggaran. Seorang murid yang ideal jaDI tampak kelihatan tua karena hanya mensyaratkan sikap diam, patuh dan tak pernah melanggar ketentuan sekolah. Sebuah ketentuan yang disusun untuk menertibkan dan mengelola sebuah fikiran. Alangkah mengerikanya sekolah semacam ini! Sebuah sekolah yang benar-benar mengadopsi ketertiban secara berlebihan. Anak-anak seperti boneka yang kebebasanya hanya diserahkan pada ketentuan dan kewajiban sekolah. Ini situasi yang tidak hanya dialami oleh sekolah Muhammadyah sendirian.
Semua sekolah kini seperti melakukan klaim yang mengerikan. Mereka bukan hanya mendidik tapi juga menghukum anak-anak didik untuk bisa memiliki kemampuan melebihi usianya. Gagasan pendidikan tradisional diambil alih dengan cara yang dramatis. Sebuah pendekatan yang selalu menilai anak punya potensi masalah ketimbang harapan. Pendidikan yang selalu melihat anak seperti ember kosong yang harus ditumpahi segalanya: pengetahuan, informasi, pengalaman dan pembelajaran. Syarat pendidikan berhasil adalah kemampuanya bisa diterima dan diakui oleh pasar kerja. Bahkan untuk disebut sekolah unggulan, ciri pertamanya adalah kemampuan berbahasa Inggris
.
Tentu yang menjadi imbas pertama-tama adalah pembebanan biaya. Walau ada beberapa sekolah yang malahan gencar berkampaye biaya murah. Sebuah perguruan tinggi malahan membuat iklan yang mengenaskan: cukup dengan Rp 860.000 bisa kuliah loh! Seakan-akan pendidikan adalah pengalaman untuk meraih status, ijazah dan tentu gelar. Tak aneh jika seorang gurbenur mendapat penghargaan doktor karena tak mampu mengatasi banjir dan kemacetan. Ada bupati yang dapat gelar doktor dan kini sedang terancam untuk dimasukkan ke bui. Gelar hanya sebuah cara untuk meraih sesuatu yang nyatanya dapat dibeli dan ditukar dengan posisi politik. Betapa suramnya wajah pendidikan yang mulai kehilangan daya gugat, daya kritik dan sudah barang tentu, kemampuan untuk menggugat.
Di jalan beberapa spanduk tampak bertebaran. Sebuah sekolah Muhammadiyah membuka pendaftaran murid baru. Berdampingan dengan kata-kata promosi ada nama penerbit yang menjadi sponsor. Pemandangan umum dimana-mana. Penerbitan buku menjadi salah satu pendukung di spanduk. Mungkin ini semacam pengukuhan atas apa yang biasa dikeluhkan. Tentang aroma pendidikan yang berbau uang dan persekongkolan. Sekolah telah jadi tempat bergabungnya semua kepentingan. Ada uang seragam, daftar ulang, piknik, gedung dst. Tak habis-habis uang dikuras. Terutama untuk buku yang pekan-pekan ini diguncang berbagai isu-isu yang tak jelas. Bakar-bakar buku yang dilakukan oleh Kejaksaan mengingatkan kembali apa yang dulu dilakukan oleh pasukan Mongol. Ringkasnya pendidikan kemudian hanya jadi tempat dimana hukum jual-beli berlaku dengan cara serampangan. Aku memang hanya bisa melakukan kritik, mengurut dada perlahan dan kini mulai membuat sekolah tandingan. Tujuanku hanya satu, bagaimana membuat pendidikan jadi urusan yang lebih tinggi ketimbang kecerdasan dan meluluskan UAN.
Pendidikan adalah jalan untuk meretas masa depan yang lebih baik sekaligus bersahabat. Sayangnya pendidikan memang kini hilang dari urusan penting negara. Negara turut campur untuk soal yang semustinya memberi banyak kebebasan. Soal kurikulum, soal penertiban guru hingga bagaimana mendirikan sekolah tampaknya menjadi kegemaran negara.
Motorku memasuki pelataran perumahan. Di samping pos satpam kulihat anak-anak kampung bermain layangan. Kakinya yang hitam dan gelap menandakan betapa banyak sudah tanah yang mereka injak. Rambut acak-acakan dan merah. Sinar matahari seperti memanggang kepala mereka. Wajah-wajah kusut yang mengeluarkan peluh ini kelak hanya akan menjadi barisan pengangguran. Jika tak ada pendidikan bermutu yang meyentuhnya. Andai tidak ada sekolah murah yang orangtuanya sanggup untuk menanggung. Kalau tak ada tangan organisasi keagamaan yang mulai berani meyentuh dan bertindak terhadap mereka. Kalau melihat mereka, aku tiba-tiba ingat KH Akhmad Dahlan. Seorang ulama yang pasti mendirikan organisasi Muhammadyah, diantaranya karena alasan sederhana. Membuat pendidikan rakyat yang mampu membantu mereka yang fakir dan terlantar. Kini masih banyak orang-orang miskin sebagaimana pada masa hidup beliau. Yang tidak ada adalah sosok seperti KH Akhmad Dahlan yang berani menanggalkan kepentingan pribadi untuk terlibat dan memprakarsai gerakan yang berdiri tegak membela kepentingan mereka yang lemah. Mungkinkah anak-anak muda IRM mampu membawa api semangat beliau? Aku agak malu untuk menjawabnya!

Disampaikan untuk acara IRM, 17 Agustus 2007. Sekali lagi jangan tersinggung dengan judul ini, karena sesungguhnya saya sangat kagum dengan Muhammadyah. Kekaguman yang membuat saya melakukan kritik dan harapan besar untuk organisasi yang rasa-rasanya sudah berusia udzur ini.
Penulis bebas dan seorang yang banyak punya teman yang sekolah di Muhammadyah maupun yang duduk dan menjadi pengurus disana.
Inilah kaidah Rumah Pengetahuan Amartya di bawah ikatan semboyan: Belajar untuk Berpihak dan Membela yang Lemah
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa struktur keluarga yang terjamin stabilitasnya adalah struktur keluarga tradisional, struktur komplementer. Suami misalnya, memainkan peran sebagai pencari makan, pencari nafkah atau pekerja social lainnya. Istri berperan sebagai ibu rumah tangga, yang memelihara anak, yang mengerjakan pekerjaan rumah. Lih Jallaludin Rakhmat, SQ For Kids, Mizan 2007
Di Indonesia sekolah Inklusi relative baru yang berpandangan akan kemajemukan adalah potensi utama dalam dasar-dasar pendidikan. Disana tak ada perbedaan kemampuan, kebangsaan dan agama anak. Semua dianggap memiliki potensi yang sama dan sebaiknya seorang anak tumbuh dalam kemajemukan seperti itu. Di Jogjakarta salah satu sekolah yang menerapkan prinsip inklusi adalah SD Tumbuh, agak mahal tetapi menarik dalam pengelolaan kurikulum.
Sebuah pendekatan tentang kemanfaatan itu ada dalam methodology yang kini baru diperkenalkan yakni Contextual Teaching & Learning yang mengangkat dua pertanyaan pokok: ‘konteks-konteks apakah yang tepat untuk dicari oleh manusia? Dan langkah-langkah kreatif apakah yang harus saya ambil untuk membentuk dan memberi makna pada konteks?. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, social dan budaya mereka. Lih Elaine B Johnson, Contextual Teaching & Learning, MLC, 2007
Lih Elaine B Johnson, PH.D, Contextual Teaching & Learning, MLC, 2007
Lih HAR Tillar, Manifesto Pendidikan Nasional, Kompas, 2005
Pedagogik Transformatif berupaya menstransformasikan potensi yang ada pada diri seseorang karena dia itu sebagai makhluk yang bebas, dan dengan menstransformasikan dirinya dia dapat menstransformasikan lingkunganya, adat-istiadatnya, lenbaga-lembaga masyarakat yang dimilikinya.
Gagasan pendidikan tradisional berangkat dari tesis (1) tidak ada teori yang dirumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam system pendidikan tradisional (2) motivasi didasari ganjaran, hukuman atau hadiah dan persaingan (3) belajar dengan menghapal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan (4) modifikasi prilaku jadi dasar pembentukan system pendidikan (5) kurikulum tersembunyi menjadi dasar dalam kehidupan pelajar (6) modus dominant: guru bicara Lih Paulo Freire (editor) Menggugat Pendidikan, Pustaka Pelajar, 1999
Untuk sekolah yang dikategorikan unggulan akan mendapat dana Rp 300 juta per tahun. Sekolah Bertaraf International (SBI) menekankan beberapa cirri: (1) penyediaan sarana sekolah yang ramah tekhnologi serta model pembelajaranya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar (2) TOEFL guru minimal 500. Kedua syarat ini yang mengantarkan 200 sekolah masuk kategori SBI dan sialnya belum ada kurikulum maupun Standarisasi yang jelas dari pemerintah. Tempo 19 Agustus 2007
Gurbenur DKI (yg sudah berhenti) Sutiyoso dapat gelar Doktor dari Universitas Diponegoro dan Bupati Kutai Kartanegara juga mendapat gelar Doktor
Mendiknas Bambang Soedibyo pada tanggal 5 Juli 2006 kirim surat kepada Jaksa Agung untuk melarang peredaran buku-buku sejarah yang menurutnya memutar-balikkan fakta yang kemudian membuat Kejaksaan melarang 13 buku pelajaran Sejarah yang diterbitkan oleh Erlangga, Yudhistira, Exact dan Grasindo. Buku itu diantaranya, Kronik Sejarah, Pengetahuan Sosial, Sejarah kelas II dan kelas III SMP, sejarah nasional dan umum untuk Tingkat SMA. Dasar Kejaksaan adalah UU Nomor 16/2004 dan UU Nomor 4/Pnps/1963 tentang Pengamanan Barang. Lih Tempo 19 Agustus 2007
Ada dua produk UU dalam system pendidikan kita (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dalam banyak pasal menetapkan tentang syarat-syarat pendirian sekolah yang begitu detail dan tidak membuka kemungkinan hadirnya sekolah alternative (2) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur tentang standar guru. Dengan ketetapan yang penuh bersyarat itu mengingatkan kembali akan sikap pemerintah Hindia Belanda yang mengeluarkan Onderwijs Ordonantie (Undang-Undang Sekolah Liar) yang melarang pendirian sekolah di luar sekolah colonial dan kemudian ini ditentang oleh Ki Hadjar Dewantara, Lih Kompas 13 Agustus 2007

hikmah sekolah di Lembaga Muhammadiyah


Ditulis oleh virgo sulianto gohardi
Thursday, 03 April 2008
Beruntung Saya Tidak Sekolah di Muhammadiyah
(Catatan Imaginatif tentang Pendidikan)

Oleh: Eko Prasetyo

Pendidikan itu bukan hanya mengisi sebuah keranjang, Melainkan menyalakan sebuah api
(William Butler, Peraih nobel Sastra)

Aku bertemu dengan seorang teman lama. Pria yang kini berposisi mapan sebagai pengusaha. Ia dulu teman satu lingkungan sekolahan. Kebetulan sekolah kami berdekatan. Saya tinggal di sekolah swasta nasional sedang ia menempuh pendidikan di Muhammadiyah. Kebetulan tiap olah raga kami memakai lapangan yang sama. Itulah awal perkenalan dan persahabatan kami. Hanya kemudian setelah lulus saya mulai jarang bertemu denganya. Saya hanya dengar kabar ia kini jadi pengusaha besar. Punya bisnis meubel yang lumayan hingga mampu mengekspor produk. Namanya bahkan tercatat sebagai pengurus partai. Jadi pengusaha kayaknya syarat untuk menjadi apapun di negeri ini. Kedudukan yang kini mengalahkan posisi serdadu.
‘wakh-wakh tak kusangka kita bertemu disini’ begitu tegurnya setelah kami duduk di sebuah tempat makan yang siang itu ramai pengunjung.
‘ya aku juga tak menyangka ketemu kamu disini’
‘bagaimana kabar keluarga? Tanyanya ramah
‘alkhamdulillah. Semua sehat dan kami kini tambah diberi tambahan momongan. Yang nomor dua masih play group dan yang besar baru menginjak kelas 1 SD. Sedang yang ketiga masih usia dua bulan’
‘sama kalau begitu. Yang kecil aku juga masih TK dan yang besar sudah kelas dua’
Kami bicara seperti layaknya masih muda dulu. Kebetulan istrinya adalah seorang yang sangat kukenal. Pengurus organisasi Muhammadiyah yang aktif dan rajin. Dulu kami satu angkatan pelatihan. Namanya masih pelajar belum remaja Muhammadyah. Atau IPM belum IRM.Ingatan atas istrinya menjadi perbincangan yang saling menyambung. Kini istrinya lebih memilih menjadi ibu rumah tangga yang sibuk memberesi problem rumah. Aku merasa kagum dan salut. Sebuah posisi yang dimuliakan di Venezuela dan negeri-negeri Amerika Latin!
‘memang harus begitu. Dimana-mana banyak penelitian membuktikan seorang anak berhasil biasanya muncul dari model keluarga tradisional. Ibu di rumah dan suami yang bekerja. Kurasa keputusan istrimu itu sangat tepat. Salam untuknya dan aku sangat kagum dengan kesediannya untuk bekerja di rumah
Ia tersenyum dan tampak sangat bangga dengan komentarku. Mungkin ini karena aku juga memutuskan untuk membangun pola seperti itu. Istriku memutuskan untuk tinggal di rumah. Anak-anak kami diasuh olehnya. Memang agak repot tapi ini membuatku tidak kuatir kalau meninggalkan rumah. Anakku berada di tangan ibunya sendiri.
‘jadi apa yang kaulakukan sekarang? Tanyanya sedikit terburu
‘aku sekarang sedang mendirikan sekolah gratis buat anak-anak miskin’ jawabku dengan agak antusias.
Tiap aku bilang tentang sekolah gratis aku selalu saja gembira. Entah mengapa itu seperti aku ditanya tentang bagaimana wajah puteraku. Idam-idaman tentang sekolah gratis jadi harapanku hari-hari ini. Sebuah sekolah yang tidak mengikat siswanya dengan nilai-nilai material. Sebuah pendidikan yang berkaca pada prinsip kerelaan, solidaritas dan keberpihakan. Hingga kini tiap orang bicara tentang pendidikan maka gagasan sekolah gratis itu menarikku untuk berdebat. Kudirikan sekolah gratis untuk menangkal badai materialisme yang kini menghantam banyak sekolah. Sebuah badai mengerikan yang menjepit kemampuan sosial orang-orang miskin. Yang jumlahnya kian hari kian membumbung.
‘wakh luar biasa, kenapa kaudirikan sekolah gratis ini? Tanyanya agak serius
‘begini kawan, aku sendiri kasian melihat banyak orang tua sekitar yang mengeluh tentang biaya pendidikan yang mahal. Beberapa anak memutuskan untuk berhenti sekolah karena biaya. Padahal kau dan aku bisa seperti sekarang karena sekolah. Sekolah itu tangga kita untuk naik kelas sosial yang lebih tinggi. Jika tanpa sekolah pasti kita semua ini akan tetap seperti dulu. Engkau dan aku hanya berdiam di dusun yang sekarang hampir berisi orang-orang tua. Aku akan meneruskan usaha kedai ayahku dan kau hanya menjadi pegawai meneruskan ayahmu juga. Sekolah kawan yang merubah kau dan aku’
Kusiram ceramahku yang biasa kuberikan di berbagai forum. Ingin kuingatkan kata banyak ahli pendidikan tentang daya dobrak sebuah pendidikan. Tanpa pendidikan mungkin Soekarno, Hatta, Sjahrir atau Tan Malaka hanya menjadi penduduk kolonial. Yang tidak akan berfikir tentang sebuah nation dan gagasan soal kedaulatan. Pendidikan mengenalkan mereka tentang identitas bahkan ideologi sebuah bangsa. Tanpa sekolah semua itu mungkin hanya barang asing yang tidak akan mereka kenali. Kini aku ingin sebagaimana pemerintahan kolonial dulu yang mengenalkan pendidikan kemanusiaan sejak dini. Bukan hanya gratis tapi juga memberi mereka atlas tentang harga diri sebuah bangsa dan arti sebuah kedaulatan. Tapi aku sengaja memendam harapan ini di hadapan kawanku yang lama sekali tak kutemui. Aku bahkan ingin sekali mendengar tanggapanya

‘aku setuju dengan pertimbanganmu. Kau tahu sendiri aku sangat pragmatis. Bahkan dalam segala hal. Anakku kini kusekolahkan di sekolah terbaik dengan biaya yang sangat mahal. SPP nya sebulan mencapai 350 ribu rupiah. Tapi kalau kusekolahkan ke sekolah murah pastilah kau bisa perkirakan bagaimana kualitasnya. Kalau aku secara pribadi berpandangan semua pendidikan butuh biaya. Dan itu harus ditebus dengan biaya mahal. Tapi tak semua orang punya pandangan sama denganku bukan?
Ia lontarkan pertanyaan itu ke arahku. Seperti sebuah lemparan sarung tinju yang harus kukenakan. Aku mengenalnya sangat lama. Kawanku ini dulu anak seorang guru yang sederhana. Sekolah Muhammadiyah kebetulan dekat dengan rumah kami. Sebuah lembaga pendidikan yang berisi banyak orang-orang tak mampu. Sekolah itu berdiri untuk melayani beberapa teman yang tak bisa ditampung di sekolah negeri. Sebuah lembaga pendidikan yang telah menanamkan begitu banyak jasa. Itu yang membuatku termotivasi untuk ikut di salah satu gerakan pelajarnya. Jujur aku terpesona dengan kegigihan orang-orang Muhammadiyah yang telah memangkas semua hambatan di lingkungan kami untuk bersekolah. Aku sesungguhnya rindu dengan tindakan luar biasa ini. Sebuah tindakan yang kini sudah jarang aku temukan pada pewaris-pewarisnya
‘engkau ingat sekolahmu dulu? Aku lebaran kemaren sempat pulang dan banyak yang mengeluh betapa berubahnya sekolah itu. Kini ongkos masuknya melebihi sekolah negeri. Katanya ada kelas khusus unggulan yang patokanya adalah biaya dan kepandaian. Tapi yang terpenting adalah, biaya! Malahan sekarang disiplin keagamaanya mirip dengan sekolah-sekolah Islam Terpadu. Kau tahu sendiri kita ini tumbuh sama-sama di masyarakat religius. Tapi dulu kita tidak mengalami pemaksaan yang mengerikan dan bahkan bangunanya sekarang rapat dengan tembok-tembok tertutup. Kau pasti tahu lapangan tempat kita main sepak bola sekarang sudah disulap menjadi laboratrium komputer. Semua yang dulu membuat kita bisa berdekatan dan bergaul kini lenyap. Aku merasa kehilangan, entah kalau kamu’
Ya tiba-tiba aku terbang dalam ingatan masa lampau. Saat sekolahku dan sekolahnya tak ada pembatas. Kami bergaul rapat dan saling membantu dalam segala hal. Bahkan lapangan sepak bola itu menjadi milik bersama. Identitas sekolahku dan sekolahnya berbeda. Aku tinggal di sekolah swasta yang agak nasionalis dan ia belajar di Muhammadiyah. Tapi kami jarang sekali konflik. Biarpun berbeda kami tak pernah merasa kesal dan kecewa satu sama lain. Belajar butuh kebebasan intelektual dan pemahaman akan kemajemukan. Mungkin itu yang kini mulai dibangun dan coba ditegakkan dalam iklim sekolah inklusi Sebuah sekolah yang merayakan perbedaan dan memberikan ruang pada murid untuk memahami keaneka ragaman. Tampaknya identitas kini jadi perkara mendesak yang menggelisahkan banyak orang. Termasuk diri kawanku ini.
‘benar sekolah kita telah berubah. Tapi bukankah hidup ini memang harus berubah. Anakmu dan anakku pasti berbeda dengan semasa kecil kita dulu. Kalau kita dulu habiskan waktu main bola di halaman samping sekolah hingga petang lalu belajar mengaji di musholla bersama. Tapi sekarang tiap sore anakku harus kuantar untuk les renang, kadang piano dan bahasa asing. Aku ingin anakku berhasil melebihi diriku. Apalagi masa depan sulit untuk dibaca. Yang kutahu masa depan mensyaratkan kemampuan yang unggul dan aku tak ingin anakku kalah dalam kompetisi yang pasti akan terjadi nanti. Mungkin karena itu aku tak begitu peduli dengan apa yang kaukatakan hilang tadi’
Kulihat raut wajahnya yang gusar dan sepertinya tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakanya sendiri. Balutan jas tuxedo itu seperti tempurung yang menutupi badanya. Tanganya diletakkan diatas meja sambil jarinya mengaduk-aduk jice apokat yang sejak tadi hanya dicicipi sedikit. Aku melihat ia tampak galau dan sedikit cemas. Ia sudah berubah, itu pendapatku.
Mungkin waktu atau pertemuan dengan dunia baru yang merubah kita. Sejak dulu pertanyaan itu menggelisahkanku. Apa yang sesungguhnya berperan besar dalam mengubah pandangan hidup seseorang? Aku kenal kawanku dulu sebaik aku kenal diriku; kami mengaji bersama, main bola bareng dan bahkan punya mimpi serupa. Kuingat cita-citanya adalah jadi sopir bus yang bisa membawanya kemana-mana. Sama denganku. Buatku seorang sopir adalah manusia petualang. Ia tahu kota yang terjauh dan belum pernah kami jamah. Kini pandanganku dan pandanganya sangat berbeda. Lebih mudah dikatakan saling bertabrakan. Ia berdiri persis dihadapan posisi yang kerapkali aku jadikan sasaran kritik. Seorang yang percaya kalau keunggulan intelektual adalah segalanya. Pendidikan sebaiknya berada pada posisi itu. Maka pandangan ini selalu percaya kalau seorang siswa adalah manusia tanpa potensi. Hanya melalui penanaman, pengajaran dan kedisplinan yang spartan baru mereka mampu meraih keunggulan. Sejumlah sekolah Muhammadiyah mengawali semangat pendidikan dengan karakter seperti itu saat ini. Seorang wali siswa yang anaknya sekolah disana bertutur kepadaku suatu saat:
‘anak saya terlambat masuk dan mendapat hukuman fisik. Saya sebenarnya ingin protes dan sempat mau bertanya kenapa masih melakukan tindakan seperti itu? Saya juga kadang ingin bertanya mengapa anak-anak harus pulang hingga larut untuk mendapat pelajaran tambahan yang banyak sekali jumlahnya? Saya kuatir kalau anak-anak kehilangan waktu dan kesempatan bermain karena sekolah padat dengan pelajaran. Saya bertanya untuk apa uang pendidikan mahal dan selalu saja ada yang dinamakan dengan uang gedung. Kadang saya bertanya ini sekolah untuk anak atau untuk para pengurus?
Mungkin komentar ini agak keterlaluan. Tapi soal biaya dan waktu pembelajaran memang jadi keluhan umum. Tak semua orang tua ternyata senang kalau anaknya sibuk di sekolah. Aku termasuk orang yang tak ingin anak lama di sekolah. Anak buatku tetap berada di bawah asuhan orang tua. Tanggung jawab dan kehangatan hubungan tak bisa digantikan oleh siapapun, termasuk oleh sekolah. Temanku punya pandangan yang mirip dengan tokoh dalam film I’m Not Stupid. Sebuah film yang cocok untuk mereka yang percaya akan pendidikan serius. Anak-anak Singapura yang begitu bebal terhadap sesama dan melihat kawan hanya merupakan pesaing kemampuan. Hidup mereka seperti dalam keadaan terus-menerus berlomba. Mereka saling berlomba. Dan kegagalan adalah sebuah celaan. Kesuksesan walau harus dibayar dengan ongkos sosial tinggi tetap dirasakan perlu. Alangkah mengerikanya pandangan temanku dan mungkin pandangan umum orang tua.
‘benar kawan mungkin kita punya pandangan berbeda dalam mendidik. Kau pasti ingat pak kyai Khasanuddin almarhum yang banyak sekali melatih kita tentang kehidupan. Kita tak pernah diingatkan dan dimarahi kalau lupa mengaji. Beliau tak pernah menghukum. Beliau hanya tak ingin kita hanya duduk berdiam diri. Engkau dan aku selalu disuruhnya melakukan apa saja yang bermanfaat. Katanya, menganggur itu dosa. Dan ketika kita diam membaca selalu saja pak kyai merasa enggan untuk mengganggu bahkan kita kadang diminta untuk menceritakan apa yang sudah kita baca. Satu hal yang diingatkan oleh beliau dan merupakan pesan nabi, jadilah orang yang bermanfaat’
Kulihat muka temanku seperti tergores ingatanya. Aku tahu dialah salah satu santri kesayangan pak kyai. Kawanku suka membaca dan pandai menjelaskan semua hal. Kufikir dulu dia akan menjadi seorang ilmuwan atau setidaknya dosen. Pesan menjadi orang bermanfaat itu kami praktekkan dalam sehari-hari. Pak kyai selalu meminta kami memberitahu tentang apa yang sudah kami lakukan buat membantu orang lain. Bahkan membantu menjemur pakaian tetangga sekalipun dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat. Kini pendidikan bermanfaat itu kemudian dipraktekkan dengan alat ukur yang memalukan. Pendidikan harus bermanfaat bagi diri sendiri dan bermanfaat untuk pasar kerja. Jarang sekali pendidikan meyentuh sisi-sisi sosial yang bisa menempatkan seorang siswa dalam hubungan yang penuh makna. Kebermaknaan mungkin itu yang ditanggalkan oleh dunia pendidikan sekarang ini. Sesungguhnya pendidikan agama bisa meyentuh batas itu tapi jatuh gagal karena banyak bungkusan propaganda. Di sekolah Muhammadiyah tampaknya itu yang dijadikan siasat: membentangkan spanduk penerimaan sambil menyindir sekolah yang berbeda keyakinan. Tawaran toleransi ditenggelamkan oleh semangat fanatisme buta.
Seorang yang sangat populer, psikolog Austria, bernama Victor Frankl pernah mengatakan tentang kekuatan makna. Dikatakan olehnya, ‘pencarian seseorang akan makna adalah motivasi utama hidupnya….dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri…kita dapat menemukan makna dalam setiap bentuk dengan tiga cara yang berbeda (1) dengan menciptakan pekerjaan atau melakukan tindakan: (2) ….dengan menghayati sesuatu, misalnya alam atau kebudayaan atau,…dengan menghadapi ….manusia lain dalam keunikanya-dengan mencintainya….dan (3) melalui sikap kita menghadapi penderitaan yang tak terelakkan…makna masih bisa terdapat dalam penderitaan sekalipun
Kebermaknaan itu yang membuat pendidikan menjadi pematangan kedewasaan. Usai sudah sekolah yang hanya mengandalkan pola ‘hukum dan beri hadiah’. Keunggulan pribadi terbukti tak bisa memberikan insentif yang berarti bagi sebuah suasana sosial. Lebih-lebih di tengah petaka yang sepertinya tak pernah berakhir. Anak-anak kecil berusaha bunuh diri karena tak bisa bayar biaya pendidikan. Orang tua mengeluh karena semua harga barang-barang pokok terus naik. Susu, beras, minyak goreng bahkan air sekalipun diberi label harga. Dan pendidikan yang menjadi kebutuhan pokok tak bisa disentuh oleh mereka yang miskin. Jumlah resmi orang miskin 39,5 juta. Sebuah angka yang heboh untuk negeri yang merayakan ulang tahun kemerdekaan ke 62. Kini teman dihadapanku adalah lapisan sosial yang beruntung. Pengusaha dan politisi. Aku pun juga berada pada posisi beruntung. Pertanyaan yang mendesak diantara kami tak lain, bagaimana kami memberi manfaat untuk mereka yang kini banyak berposisi sebagai ‘tak beruntung’ ini?
‘ya aku kadang juga berfikir sama denganmu. Banyak anak-anak tak beruntung yang tak mampu sekolah. Tangan kita tak cukup kuat untuk memecah semua soal ini. Itu yang mengantarku untuk hidup di partai politik. Aku merasa punya tangan kuat untuk merubah kebijakan pendidikan yang selama ini kacau. Aku dapat memanggil menteri pendidikan untuk kutegur, kuperiksa bahkan kuadili. Cara ini kaunggap efektif untuk menyelesaikan kekusutan yang ada di lembaga pendidikan. Bukankah kau setuju dengan yang kulakukan. Lebih praktis dan langsung ada di jantung persoalan’
Akh temanku ternyata telah banyak berubah. Optimisme nya tentang partai mirip dengan kepercayaan kami waktu kecil. Kalau Superman itu ada dan mampu terbang hingga ke langit yang teramat tinggi. Rupa-rupanya ia aktivis partai yang tak pernah merasa ditegur oleh rakyatnya sendiri. Aku ingat dengan perkara tegur-menegur ini. Seorang bercerita padaku tentang pertemuan akbar di Muhammadiyah. Seorang menteri pendidikan yang berasal dari organisasi Muhammadiyah dikritik oleh kader muda yang gigih dan cerdas. Tanggapan dingin Mendiknas-yang bisa disebut kader Muhammadyah-menunjukkan betapa lemahnya disiplin organisasi ini. Kawanku seperti bermimpi, mengadili, bertanya, menyanggah kebijakan menteri. Mana mungkin jika Muhammadiyah sendiri, asal muasal pemegang kebijakan pendidikan, tak mampu untuk mengendalikanya. Tempat dimana Muhammadiyah lahir, Yogyakarta, menjadi contoh tauladan bagaimana komersialisasi dilangsungkan. Sekolah yang memang didedikasikan untuk orang-orang yang mampu. Bagaimanapun aku percaya, kalau cacat dunia pendidikan sekarang ini tak bisa dilepaskan dari tanggung jawab Muhammadiyah. Baik sebagai organisasi maupun para kadernya
‘kaufikir dengan mengadili seorang menteri semua soal akan selesai. Kaufikir mudah untuk merubah kebijakan dengan tindakan panggil-memanggil. Mustinya organisasimu Muhammadyah itu bisa melakukan langkah drastis. Menggratiskan pendidikan pada semua sekolah dasarnya, bukanya malah membuat mahal. Daftar ulang membayar, ujian membayar, piknik bayar lagi…semuanya berduit. Bahkan ada uang infak yang jumlahnya sudah ditentukan…itu namanya apa kalau tidak jual beli agama! Coba aku ingin tanya mana di kepulauan ini yang sekolah Muhammadiyah nya gratis? Tak malukah kalian dengan sekolah orang Tionghoa yang sudah 50 tahun membuat sekolah gratis. Tak malukah kalian dengan sekolah Dompet Dhuafa yang juga gratis? Rumah Zakat yang baru berusia muda yang juga buat rumah bersalin gratis? Gratis itu komitmen paling dini kawan untuk mengukur keberpihakan pada sesuatu yang kini diperlakukan secara komersial…maafkan aku jika aku agak kasar, mungkin aku terlampau berharap berlebihan terhadapmu. Aku tak ingin engkau seperti orang mapan yang punya banyak rasa takut, kehilangan inisiatif dan tak memiliki imaginasi’
Aku tiba-tiba ingin pulang kembali ke rumah. Pertemuan ini rasanya berjalan sia-sia dan berakhir dengan kepedihan. Aku panik karena kuatir kata-kataku terlampau tajam untuk didengar. Apa yang biasa kusampaikan di depan anak-anak muda tentu tak patut jika kukatakan dihadapan kawanku yang mapan dan sudah agak ubanan ini. Kutahan semua kegeramanku pada organisasi yang banyak melahirkan para pemuka dan penguasa. Presiden pernah memberi nasehat keliru, agar Muhammadiyah juga berperan sebagai kekuatan wirausaha tak hanya pendidikan. Padahal bagiku, pendidikan adalah kekuatan strategis dan terpokok dalam mengeluarkan bangsa ini dari lubang derita. Peran Muhammadiyah dalam pendidikan sepatutnya dihargai dan didorong dengan lebih optimal. Kalau pendidikan beres maka semua hal bisa diraih. Termasuk ekonomi. Apalagi kalau hanya menjadi wirausaha. Kembali Presiden menunjukkan jalan berfikir yang dangkal dan rapuh.
‘maaf jika aku menyinggungmu. Aku tak ingin pertemuan ini menjadi sebuah pertikaian yang tak berarti. Persahabatan kita lebih dalam ketimbang kedudukan kita saat ini. Aku sekali lagi minta maaf. Salam buat istrimu dan anak-anak. Aku kebetulan ada diskusi siang ini. Jika tak keberatan aku meminta alamat dan nomor HP mu. Maafkan aku kawan’
Kujabat tanganya dengan terburu-buru. Ia memberi nomor HP yang segera kucatat. Kujabat tanganya erat. Tiba-tiba ia memelukku erat
‘kawan kau sadarkan aku yang telah lama tenggelam. Aku punya pandangan sama denganmu. Hanya aku mungkin orang penakut yang kuatir akan perubahan cepat. Maafkan aku juga’
Ia tampak agak gugup dan tercengang. Diundurkanya kursi sambil berdiri dan menatapku agak lama. Ia berdiri dalam wajah yang lemah dan letih. Aku tahu aku telah membangunkan sesuatu yang telah lama terlelap dalam dirinya. Sebuah keyakinan yang dulu membuat kami terikat satu sama lain. Keyakinan yang membuat kita percaya akan kebesaran dan kekuatan negeri ini.
Kami bersama-sama meninggalkan rumah makan itu. Ia menawariku menumpang mobilnya. Kubilang aku membawa motor dan mengucapkan terimakasih atas tawaranya. Kami bersama –sama meninggalkan rumah makan yang mulai didatangi pengunjung yang ingin menuntaskan akhir pekan. Aku susuri jalan sambil mengingat-ingat kembali gugatanku pada pendidikan di Muhammadiyah. Sebuah gugatan yang dulu juga pernah dilampiaskan oleh Paulo Freire. Pendidikan yang membebaskan adalah konsep yang ditawarkanya. Freire. Pendidikan yang berusaha menanamkan kesadaran tentang realitas sosial. Di mata Freire seorang anak memiliki dan mempunyai kesadaran ganda. Kesadaran tentang diri dan kelas sosialnya. Melalui pendidikan seorang anak akan mengalami transformasi pengalaman yang bermakna. Untuk bisa lebih kritis atas sistem yang membelenggunya. Kemarahanku sama halnya dengan yang dikatakan Ivan Illich, seorang revolusioner pendidikan, yang mengatakan kalau selama ini pendidikan hanya mengemban tiga fungsi: 1) sebagai gudang mithos masyarakat 2) pelembagaan kontradiksi-kontradiksi yang dibawa oleh mitos tersebut 3) sebagai locus ritual yang mereproduksi serta menyelubungi perbedaan-perbedaan antara mithos dan realitas.
Mithos itu yang telah mengabaikan kesadaran kritis dan akal sehat pada para peserta didik. Mereka seperti kumpulan domba yang dicangkokkan dan digiring untuk bertindak sebagaimana yang diperintahkan. Di pinggir jalan ada sejumlah bimbingan belajar yang hanya mengajari anak menjawab soal, bukan bertanya. Pertanyaan kini jadi kecurigaan dan tampak mengkuatirkan. Tapi anak-anak yang dibesarkan di lingkungan naif ini bersemangat dan gemar untuk ikut dalam pasukan menjawab soal. Mereka yakin masa depan ada di tangan jenis spesies seperti itu. Jika begitu benarlah kritik yang selama ini dihadapkan pada pendidikan tradisional, yang tidak mampu memberikan kebebasan dan kepercayaan diri pada anak didiknya.Idam-idaman pada pendidikan progresif. sekarang ini baru batas mimpi dan sedikit sekolah yang berani melakukanya. Mungkin karena para guru enggan kehilangan wibawa atau sekolah kemudian jadi mirip sangkar arena bermain.
Kulewati sekolah Muhammadyah yang populer dan diburu-buru oleh banyak orang. Tembok tinggi menutup badan sekolah hingga tampak mirip penjara. Kadang aku bertanya siapa murid yang ada di dalamnya? Murid-murid yang pasti tak terlampau berani menatap keluar karena dibiasakan berpandangan sempit dan terbatas. Jalanan aspal itu hanya tampak kalau murid mau memanjat ke dinding dan mungkin itu akan disebut pelanggaran. Seorang murid yang ideal jaDI tampak kelihatan tua karena hanya mensyaratkan sikap diam, patuh dan tak pernah melanggar ketentuan sekolah. Sebuah ketentuan yang disusun untuk menertibkan dan mengelola sebuah fikiran. Alangkah mengerikanya sekolah semacam ini! Sebuah sekolah yang benar-benar mengadopsi ketertiban secara berlebihan. Anak-anak seperti boneka yang kebebasanya hanya diserahkan pada ketentuan dan kewajiban sekolah. Ini situasi yang tidak hanya dialami oleh sekolah Muhammadyah sendirian.
Semua sekolah kini seperti melakukan klaim yang mengerikan. Mereka bukan hanya mendidik tapi juga menghukum anak-anak didik untuk bisa memiliki kemampuan melebihi usianya. Gagasan pendidikan tradisional diambil alih dengan cara yang dramatis. Sebuah pendekatan yang selalu menilai anak punya potensi masalah ketimbang harapan. Pendidikan yang selalu melihat anak seperti ember kosong yang harus ditumpahi segalanya: pengetahuan, informasi, pengalaman dan pembelajaran. Syarat pendidikan berhasil adalah kemampuanya bisa diterima dan diakui oleh pasar kerja. Bahkan untuk disebut sekolah unggulan, ciri pertamanya adalah kemampuan berbahasa Inggris
. Tentu yang menjadi imbas pertama-tama adalah pembebanan biaya. Walau ada beberapa sekolah yang malahan gencar berkampaye biaya murah. Sebuah perguruan tinggi malahan membuat iklan yang mengenaskan: cukup dengan Rp 860.000 bisa kuliah loh! Seakan-akan pendidikan adalah pengalaman untuk meraih status, ijazah dan tentu gelar. Tak aneh jika seorang gurbenur mendapat penghargaan doktor karena tak mampu mengatasi banjir dan kemacetan. Ada bupati yang dapat gelar doktor dan kini sedang terancam untuk dimasukkan ke bui. Gelar hanya sebuah cara untuk meraih sesuatu yang nyatanya dapat dibeli dan ditukar dengan posisi politik. Betapa suramnya wajah pendidikan yang mulai kehilangan daya gugat, daya kritik dan sudah barang tentu, kemampuan untuk menggugat.
Di jalan beberapa spanduk tampak bertebaran. Sebuah sekolah Muhammadiyah membuka pendaftaran murid baru. Berdampingan dengan kata-kata promosi ada nama penerbit yang menjadi sponsor. Pemandangan umum dimana-mana. Penerbitan buku menjadi salah satu pendukung di spanduk. Mungkin ini semacam pengukuhan atas apa yang biasa dikeluhkan. Tentang aroma pendidikan yang berbau uang dan persekongkolan. Sekolah telah jadi tempat bergabungnya semua kepentingan. Ada uang seragam, daftar ulang, piknik, gedung dst. Tak habis-habis uang dikuras. Terutama untuk buku yang pekan-pekan ini diguncang berbagai isu-isu yang tak jelas. Bakar-bakar buku yang dilakukan oleh Kejaksaan mengingatkan kembali apa yang dulu dilakukan oleh pasukan Mongol. Ringkasnya pendidikan kemudian hanya jadi tempat dimana hukum jual-beli berlaku dengan cara serampangan. Aku memang hanya bisa melakukan kritik, mengurut dada perlahan dan kini mulai membuat sekolah tandingan. Tujuanku hanya satu, bagaimana membuat pendidikan jadi urusan yang lebih tinggi ketimbang kecerdasan dan meluluskan UAN. Pendidikan adalah jalan untuk meretas masa depan yang lebih baik sekaligus bersahabat. Sayangnya pendidikan memang kini hilang dari urusan penting negara. Negara turut campur untuk soal yang semustinya memberi banyak kebebasan. Soal kurikulum, soal penertiban guru hingga bagaimana mendirikan sekolah tampaknya menjadi kegemaran negara.
Motorku memasuki pelataran perumahan. Di samping pos satpam kulihat anak-anak kampung bermain layangan. Kakinya yang hitam dan gelap menandakan betapa banyak sudah tanah yang mereka injak. Rambut acak-acakan dan merah. Sinar matahari seperti memanggang kepala mereka. Wajah-wajah kusut yang mengeluarkan peluh ini kelak hanya akan menjadi barisan pengangguran. Jika tak ada pendidikan bermutu yang meyentuhnya. Andai tidak ada sekolah murah yang orangtuanya sanggup untuk menanggung. Kalau tak ada tangan organisasi keagamaan yang mulai berani meyentuh dan bertindak terhadap mereka. Kalau melihat mereka, aku tiba-tiba ingat KH Akhmad Dahlan. Seorang ulama yang pasti mendirikan organisasi Muhammadyah, diantaranya karena alasan sederhana. Membuat pendidikan rakyat yang mampu membantu mereka yang fakir dan terlantar. Kini masih banyak orang-orang miskin sebagaimana pada masa hidup beliau. Yang tidak ada adalah sosok seperti KH Akhmad Dahlan yang berani menanggalkan kepentingan pribadi untuk terlibat dan memprakarsai gerakan yang berdiri tegak membela kepentingan mereka yang lemah. Mungkinkah anak-anak muda IRM mampu membawa api semangat beliau? Aku agak malu untuk menjawabnya!

Disampaikan untuk acara IRM, 17 Agustus 2007. Sekali lagi jangan tersinggung dengan judul ini, karena sesungguhnya saya sangat kagum dengan Muhammadyah. Kekaguman yang membuat saya melakukan kritik dan harapan besar untuk organisasi yang rasa-rasanya sudah berusia udzur ini.
Penulis bebas dan seorang yang banyak punya teman yang sekolah di Muhammadyah maupun yang duduk dan menjadi pengurus disana.
Inilah kaidah Rumah Pengetahuan Amartya di bawah ikatan semboyan: Belajar untuk Berpihak dan Membela yang Lemah
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa struktur keluarga yang terjamin stabilitasnya adalah struktur keluarga tradisional, struktur komplementer. Suami misalnya, memainkan peran sebagai pencari makan, pencari nafkah atau pekerja social lainnya. Istri berperan sebagai ibu rumah tangga, yang memelihara anak, yang mengerjakan pekerjaan rumah. Lih Jallaludin Rakhmat, SQ For Kids, Mizan 2007
Di Indonesia sekolah Inklusi relative baru yang berpandangan akan kemajemukan adalah potensi utama dalam dasar-dasar pendidikan. Disana tak ada perbedaan kemampuan, kebangsaan dan agama anak. Semua dianggap memiliki potensi yang sama dan sebaiknya seorang anak tumbuh dalam kemajemukan seperti itu. Di Jogjakarta salah satu sekolah yang menerapkan prinsip inklusi adalah SD Tumbuh, agak mahal tetapi menarik dalam pengelolaan kurikulum.
Sebuah pendekatan tentang kemanfaatan itu ada dalam methodology yang kini baru diperkenalkan yakni Contextual Teaching & Learning yang mengangkat dua pertanyaan pokok: ‘konteks-konteks apakah yang tepat untuk dicari oleh manusia? Dan langkah-langkah kreatif apakah yang harus saya ambil untuk membentuk dan memberi makna pada konteks?. Sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, social dan budaya mereka. Lih Elaine B Johnson, Contextual Teaching & Learning, MLC, 2007
Lih Elaine B Johnson, PH.D, Contextual Teaching & Learning, MLC, 2007
Lih HAR Tillar, Manifesto Pendidikan Nasional, Kompas, 2005
Pedagogik Transformatif berupaya menstransformasikan potensi yang ada pada diri seseorang karena dia itu sebagai makhluk yang bebas, dan dengan menstransformasikan dirinya dia dapat menstransformasikan lingkunganya, adat-istiadatnya, lenbaga-lembaga masyarakat yang dimilikinya.
Gagasan pendidikan tradisional berangkat dari tesis (1) tidak ada teori yang dirumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam system pendidikan tradisional (2) motivasi didasari ganjaran, hukuman atau hadiah dan persaingan (3) belajar dengan menghapal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan (4) modifikasi prilaku jadi dasar pembentukan system pendidikan (5) kurikulum tersembunyi menjadi dasar dalam kehidupan pelajar (6) modus dominant: guru bicara Lih Paulo Freire (editor) Menggugat Pendidikan, Pustaka Pelajar, 1999
Untuk sekolah yang dikategorikan unggulan akan mendapat dana Rp 300 juta per tahun. Sekolah Bertaraf International (SBI) menekankan beberapa cirri: (1) penyediaan sarana sekolah yang ramah tekhnologi serta model pembelajaranya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar (2) TOEFL guru minimal 500. Kedua syarat ini yang mengantarkan 200 sekolah masuk kategori SBI dan sialnya belum ada kurikulum maupun Standarisasi yang jelas dari pemerintah. Tempo 19 Agustus 2007
Gurbenur DKI (yg sudah berhenti) Sutiyoso dapat gelar Doktor dari Universitas Diponegoro dan Bupati Kutai Kartanegara juga mendapat gelar Doktor
Mendiknas Bambang Soedibyo pada tanggal 5 Juli 2006 kirim surat kepada Jaksa Agung untuk melarang peredaran buku-buku sejarah yang menurutnya memutar-balikkan fakta yang kemudian membuat Kejaksaan melarang 13 buku pelajaran Sejarah yang diterbitkan oleh Erlangga, Yudhistira, Exact dan Grasindo. Buku itu diantaranya, Kronik Sejarah, Pengetahuan Sosial, Sejarah kelas II dan kelas III SMP, sejarah nasional dan umum untuk Tingkat SMA. Dasar Kejaksaan adalah UU Nomor 16/2004 dan UU Nomor 4/Pnps/1963 tentang Pengamanan Barang. Lih Tempo 19 Agustus 2007
Ada dua produk UU dalam system pendidikan kita (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang dalam banyak pasal menetapkan tentang syarat-syarat pendirian sekolah yang begitu detail dan tidak membuka kemungkinan hadirnya sekolah alternative (2) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang mengatur tentang standar guru. Dengan ketetapan yang penuh bersyarat itu mengingatkan kembali akan sikap pemerintah Hindia Belanda yang mengeluarkan Onderwijs Ordonantie (Undang-Undang Sekolah Liar) yang melarang pendirian sekolah di luar sekolah colonial dan kemudian ini ditentang oleh Ki Hadjar Dewantara, Lih Kompas 13 Agustus 2007